Çundarigama
BUKU INI ADALAH TERJEMAHAN LONTAR ÇUNDARIGAMA YANG DITERBITKAN OLEH
PARISADHA HINDU DHARMA KABUPATEN
TABANAN
TH 1976
BAB I
OM AWIGNAM ASTU NAMA SIDHYAM
1e. Inilah çundarigama namanya, yang merupakan tatacara yang
dibenarkan dalam melaksanakan ajaran Agama, dari sabda Sang Hyang Suksma
Licin ( Hyang Widhi nan niskala dan Maha suci ), kepada para Rsi
semuanya, sebagai pelaksana tatacara keagamaan diwilayah suatu Negara,
dan yang patut dilaksanakan oleh masyarakat sewilayah bersangkutan
semuanya, dengan tujuan agar tentramlah negara dan pemerintahan,
demikian pula sejahteralah rakyatnya, sebab tata cara yang demikian itu,
adalah suci dan sangatlah utama.
2e. Maka berkenanlah para Dewata semuanya, menerima puja persembahan
suci itu, dan Brahma, Wisnu dan Içwara, karena telah dipuja oleh para
para Resing langit. Lalu Sang Hyang Çiwa Budha berkenan merestui, betapa
sabda Nya, adalah demikian.
3e. Wahai anakku para purohita semuanya, Çiwa dan Budha, dengarlah
nasehatku ini olehmu anakku, bahwa dalam ajaran Agama Çundarigama yang
merupakan tuntunan pelaksanaan pensucian isi dari Wariga Gemet, sebagai
kehidupan dunia, wujud dalam memuja Sang Hyang Widhi, dan menjadi
perantara bagi manusia untuk menyelamatkan dirinya, yang menjadi
jalan/tuntunan dalam memohon Rahmat Hyang Widhi yang Maha Kuasa :
Çundarigama ini diturunkan didunia dan diberikan kepada manusia, untuk
mana menyebabkan manusia dapat menikmati kebahagiaan keutamaan, yaitu
keselamatan yang terus menerus di alam tiga ini (bhur, bwah, swah ).
Itulah keutamaan yang amat mulia, bagi manusia, dan itulah yang
menyebabkan langgengnya kesucian bagi negara dan rajanya. Mening, yaitu
murnilah kebahagiaan para Purohita semuanya, dan makmurlah rakyatnya,
gairah pula para pelajar-pelajarnya ; betapakah misalnya adalah sebagai
beikut :
4.e Pada saat hari yang baik, yakni hari yang disebut sasucen Hyang,
yang diikuti oleh para Dewata semuanya, para Gandarwa-gandarwi,
Widyadara-widyadari, Resinglangit, dan diikuti pula oleh Hyang pitara
yang telah disucikan, sehingga dapat mencapai alam Sorga, demikian pula
para pitara yang masih dalam alam pitara loka kesemuanya itu ikut serta
memanfaatkan waktu bersucian, beryoga semadi untuk keselamatan dunia,
karenanya bersenanglah beliau, bersemayam didunia dan akasa. Maka
menjadi sucilah dunia ini, seakan-akan melimpahkan ketentraman, baik
terhadap manusia semuanya, maupun terhadap segala mahluk yang
ditakdirkan didunia. Demikianlah maka manusiapun patutlah ikut serta
melaksanakan cinta kasih seperti yang dilimpahkan oleh Hyang Widhi,
berbakti dengan upacara yang disuguhkan kepada para Bhatara, demikianlah
tata caranya.
5e. a.Purnama Sasih Kapat Beginilah prihalnya menurut perhitungan
masa yaitu pada masa sasih kapat (oktober), pada saatnya bulan
penuh(Purnama) maka beryogalah Bhatara Paramecwara, Sag Hyang
Purusangkara, (setahun untuk Hyang Widhi sebagai Mahadewa dan Maha
Purusa), manunggal dengan Bhatari(mewujudkan wisesa Nya), diikuti oleh
golongan Dewa semuanya, serta golongan widyadara-widyadari dan Resing
langit semuanya sejak dahulu kala. Dalam halnya yang demikian,
sepatutnyalah orang-orang suci (Pandita dan pinandita), melakukan puja
stuti dengan memakai tanda/busana sebagaimana mestinya, dan bersiap-siap
melakukan puja bakti kehadapan Sang Hyang Candra. Demikian pula
kepada Hyang Kawitan mengaturkan bebanten serba suci. Adapun yang
dihaturkan kehadapan Hyang Ratih, (sebutan terhadap Hyang Widhi sebagai
Soma), ialah :
Penek kuning, prayascita luwih, pangreresik, serta daging dalam penek itu, ialah ayam putih siyungan.
Adapun banten yang di Sor (bawah), ialah :
Segehan agung 1 soroh
Lain daripada itu, orang-orang (umat bersangkutan), hendaknya
melakukan bhakti dengan muspa dihadapan Sanggar dan Perhyangan, demikian
juga pada Pelinggih-pelinggih di pedarman, yang menjadi
penyungsungnya. Akhirnya pada malam hari itu usahakanlah melakukan
renungan suci, dengan dyana dan samadi.
b.Tilem Sasih Kapat
selanjutnya pada saat datangnya hari Tilem sasih Kapat, patut melakukan
upacara pemusnah kecemaran-kecemaran diri, yang disebut “Pamugpug raga
roga”, dengan jalan menghaturkan banten wangi di Sanggar Parhyangan,
sedangkan yang patut dihaturkan diatas tempat tidur, ialah sesuatu yang
dapat mewujudkan ketenangan hati. Antara lain; bebanten sesayut
Widyadari, yang umum disebut bebanten Dedari, sebanyak satu soroh, untuk
memuja Hyang Widyadara-widyadari.
Adapun tujuan menghaturkan bebanten itu, ialah memohon ketenangan
pikiran, didalam melakukan tugas hidup sehari-hari, khususnya bagi kaum
wanita, disebut kepatibratan. Karena itulah, maka pada tengah malamnya
disarankan untuk melakukan “Monabrata” yakni memusatkan segenap pikiran
untuk sesaat dan mengarahkan kepada Sang Hyang Widhi. Jika hal itu
tepat dapat dilakukan, maka pahalanya akan dapat mensucikan kecemaran
diri, yang disebut : “Lukat papa pataka letuhing sarira”
6e a.Bulan mati pada bulan Maret
Tersebutlah pada saat datangnya casih Kasanga (Maret), yang disebut
“Centramasa”, terutama pada bulan mati (tilem), adalah hari untuk
bersucinya para Dewa semua, bertempat dilautan, guna menikmati inti
hakekat air suci kehidupan abadi (yang bertempat di lautan). Karena itu
seyognyalah orang-orang (umat bersangkutan) semua menghaturkan puja
bakti kehadapan raja Dewata, dengan tata cara sebagai berikut :
Pada panglong ping 14 sasih ke Sanga, hendaknya melakukan Bhuta
Yadnya, bertempat di perempatan Desa Pakraman (Desa Adat). Adapun
tingkatan-tingkatannya, ialah sekecil-kecilnya dengan cara yang disebut
Pancasata (ayam 5 ekor); ditingkatan menengah, dengan Pancasanak (dasar
caru ayam 5 ekor, ditambah itik bulu sikep sebagai ulu), sedangkan
dalam tingkatan utama (besar), ialah tawur Agung (Pancawalikrama), dan
seterusnya dengan memakai Yamaraja. Adapun Bhuta Yadnya tersebut dipuja
oleh Sang Maha Pandita (Pedanda, Rsi, Empu, dsb).
Untuk karang paumahan dilakukan upacara pasuguh-suguh, yang berbentuk
segehan mancawarna, banyaknya sembilan tanding, dengan ikannya ayam
brumbun yang diolah, petabuh tuak dan arak. Adapun caru tersebut
diupacarakan didengen (dimuka karang perumahan), yang disuguhi, ialah
Sang Butha Raja, Sang Butha kala dan Kalabala diberi sesuguh dengan sege
nasi sasah 108 tanding berisi jejeron mentah, serta segehan Agung satu
tanding. Pada sore harinya sepatutnya tawur itu dilaksanakan semuanya.
Apabila tawur itu selesai diupacarakan barulah dilakukan Pangrupukan,
dan itulah suatu jalan upacara yang bertujuan dapat mengembalikan Butha
kala serta membatalkan usahanya membuat mara bahaya. Adapun alat yang
lain ialah melakukan obor-obor dengan membawa api prapak, sembur meswi,
dengan diantar puja mantra penolak mara bahaya, mantra penyengker
agung, dengan mengelilingi pekarangan perumahan dan membawa api/obor.
Setelah selesai melakukan obor-obor itu, maka orang-orang (umat) dalam
keluarga baik laki-laki maupun perempuan lalu melakukan upacara
abyakala ditengah-tengah pekarangan serta natab sesayut pamyak kala,
lara malaradan, dan prayascita. Hari esoknya, lakukan sipeng amati
geni, dan tidak melakukan pekerjaan jasmani, bahkan berapi-apipun
ditiadakan ditempat pekarangan desa pakraman.
Yang penting diperhatikan, ialah bagi mereka yang mendalami ajaran brata-semadi, patut melakukan yoga samadi pada hari itu.
7e. Melelastikan / Mensucikan Pratima
Demikian pula hendaknya pada bulan panglong ke 13 sebelum Tilem,
hendaknya dilakukan pensucian bagi pratima, yang menjadi lambang dari
Sang Hyang Tiga Wisesa, misalnya : di Pura Puseh, Desa dan Dalem.
Lain pada itu, diikut sertakan pula segala arca-arca yang menjadi simbul
melambangkan Lingga para Dewa-Dewa, yang diperhyangan. Itulah
dikeluarkan semuanya dan disucikan dilautan, serta diiringi oleh
orang-orang yang tergabung dalam Desa Adat/Pakraman, semuanya. Dalam
pada itu dilakukanlah “Widhiwidana”, suguhan, dan ditujukan kepada Sang
Hyang Baruna, guna memohon anugrah, termusnahnya kesengsaraan dunia,
dalam segala bentuk penderitaan, dan kecemaran dunia menjadi musnah,
lebur didalam lautan. Setelah selesai itu semuanya dilakukan, barulah
dikembalikan pratima-pratima itu, dan kemudian ditempatkan (kejejerang)
di Bale Agung. Disinilah Pratima-pratima itu diupacarai dan
Bhatara-bhatari disuguhi banten datengan, dan banten-banten lainnya.
Kemudian setelah selesai, barulah pratima-pratima dikembalikan ke
Pelinggih masing-masing.
Apabila hal itu tidak dilakukan demikian dapat menyebabkan kacaunya Desa
Pakraman, dimana akan mendapatkan gangguan yang bermacam-macam cara,
dan sang Adikala memang berhak memangan orang-orang yang tidak melakukan
amal keagamannya masing-masing apa gerangan yang menyebabkan demikian,
ialah karena tidak memperhatikan kebenaran/kewajiban menjadi manusia.
Itulah yang menyebabkan mereka dianiaya. Apabila hal itu terjadi,
niscaya menyusahkan Sang Guru Wisesa, karena hal yang demikian rusaknya
kedudukannya sebagai Guru Wisesa. Adapun kerusakan itu berwujud dalam
bentuk mrana yang mengganas dari Bhuta Kala. Suatu alamat terhisapnya
darah (kekuatan hidup) manusia seluruhnya, dan pencabutan jiwa manusia
oleh para abdi Sang Hyang Adikala. Kalau kita bertanya siapakah yang
menyebabkan demikian? Jawabnya, ialah bahwa Bhatara Wisnu (yang bersifat
memelihara), berubah wujud kedewataanya menjadi kala (waktu pemusnah),
Bhatara Brahma (yang bersifat mencipta), akan menciptakan Bhucari desa
(mahluk berbisa), Teluh Tranjana (Penyebab kesedihan manusia), dan
Bhatara Içwara (bersifat menyempurnakan), akan berwujud penyakit yang
meraja lela dan mengerikan. Dan hal yang terakhir inilah yang paling
membahayakan, karena dapat menyebabkan dunia basmi bila kehendaknya.
Demikianlah halnya, hai para pendeta anakku karenanya janganlah alpa
terhadap hal yang demikian, seperti ajaran-ajaran yang kami utarakan.
Kalau hal itu dapat dilaksanakan, maka kembalilah keselamatan dunia,
termasuk pula keselamatan serba mahluk. Dengan demikian, menjadi
sempurna dan sucilah wibawa dunia ini, sejahtera segala yang masih
hidup, menjadi suburlah segala tumbuh-tumbuhan, karena penyebab dari
penyakit yang meraja lela itu telah dilebur kembali dalam lautan.
8. Sasih Waisaka
Tersebutlah pada sasih waisaka ( kedasa bulan April ), Tanggal ping 15 (
hari purnama Kadasa ), pada waktu itulah hari penghormatan kepada Sang
Hyang çuniamrta ( manifestasi Tuhan dalam sifat menghidupkan ), yang
bersemayam di kahyangan sakti, serta disucikan sejak dahulu kala. Pada
saat itulah disebut purnama Sada ( inti dari purnama-purnama, sasih yang
lain ), karenannya patutlah orang-orang memuja leluhurnya, bertempat
di Sanggah kemulan. Kalau di Desa Pekraman, ialah bertempat Sad
Kahyangan Sakti ( Tri Kahyangan untuk Desa pakraman, dan Dang kahyangan
untuk tingkat yang lebih luas.
Adapun upakaranya, ialah tingkat sederhana :
Suci 1, daksina 1, ajuman, dandanan aprangkat 1, ikannya serba suci, canang wangi-wangi, serta reresik, dan perlengkapannya.
Yang dihaturkan ( palaba ) dibawah, ialah :
Segehan Agung 1, segehan sasah 6, tanding, dan ikannnya bawang jahe, dan
Sang purohita yang patut menjalankan, dengan puja sebagaimana
mestinya. Sedangkan yang patut dilaksanakan oleh Umat pada umumnya
ialah :
Upakara /upacara pamrayascita lwih, panyeneng dan teenan.
9. Purnama dan Tilem :
Dan ada pula hari sesucen terhadap Sang Hyang Rwabhineda, yakni Sang
Hyang surya dan Sang Hyang Ratih, itulah yang jatuh pada hari purnama
dan hari tilem. Kalau hari purnama, Sang Hyang Wulanlah yang beryoga,
demikian pula kalau hari Tilem Sang Hyang Suryalah yang beryoga.
Demikianlah bagi para Sulinggih dan setiap Umat ( yang beragama Hindu
), patutlah melakukan pensucian diri, dengan menghaturkan wangi-wangi,
canang biasa, yang disuguhkan kepada para Dewa. Dan oleh karena
perbuatan itu dilakukan dalam ciptaan Tuhan, wajarlah bila dilakukan
dengan air suci, serta bunga serba yang harum.
BAB. II
PAWUKON
1. Uku Sinta :
Lain dari pada yang itu, ada juga menurut Pawukon, yakni pada Uku Sinta :
a. Coma Ribek :
Coma Pon disebut juga Coma Ribek, hari puja wali Sang Hyang Çri Amrta,
tempat bersemayamannya adalah di Lumbung, Pulu, adapun upacara
memujanya ialah :
Nyahnyah geti-geti, gringsing, raka pisang mas, disertai denga bunga serba harum.
Pada waktu itu, orang-orang tak diperkenankan menumbuk padi, demikian
juga menjual beras, karena kalaupun dilakukan, maka dikutuklah oleh
Bhatari Çri, sepatutnya orang memuja Sang Hyang Tri pramana ( bayu,
sabda, idep ), serta membatinkan inti sari ajaran Agama ; karenanya pada
hari itu, tidak diperkenankan tidur pada siang hari.
b. Sabuh Mas :
Pada Hari Anggara Wage, disebutlah sabuh mas, suatu hari yang disucikan
untuk memuja Bhatara Mahadewa, dengan jalan melakukan upacara Agama,
terhadap harta benda kakayaan, yaitu :
Manik dan segala manikam ; adapun upakara :
Suci, daksina, peras penyeneng, sesayut yang disebut Amrta sari, canang lenga wangi, burat wangi dan reresik.
Tempat melakukan upacara itu, ialah dibalai piyasan ( dan yang
semacam itu). Bagi orang-orang , patutlah melakukan pembersihan diri dan
janganlah takabur terhadap kesenangan yang bersifat kebendaan belaka,
melainkan ratna mutu manikam yang ada dalam diri pun ( jiwa ), perlu
dimuliakan. Demikianlah, setelah selesai menyuguhkan kepada
Bhatara-Bhatari bebanten sesayut itu, patutlah diayap untuk diri kita.
c. Pager Wesi :
Pada hari Buda Kliwon ( Sinta ), disebutlah Pager Wesi, saat Sang Hyang
Pramesti guru ( Çiwa ) dan diikuti oleh Dewata Nawasanga, yang
bertujuan untuk menyelamatkan jiwa segala makhluk hidup yang
ditakdirkanNya dialam ini semuanya ; karenanya patutlah para sulinggih
memuja cipataan Bhatara Prameswara : Upakara nya, ialah :
Daksina, suci 1, peras panyeneng, sesayut, pancalingga, penek ajuman,
serta raka-raka, wangi-wangi, dan perlengkapannya, yang dihaturkan
(disuguhkan) di Sanggah kemulan. Adapun bebanten bagi orang-orang ialah :
Sesayut pageh hurip 1, serta prayascita, setelah tengah malam, dilakukan
yoga samadi (renungan suci). Dan ada pula sesuguh kepada Panca
mahabuta (lima unsur alam) yaitu :
Segehan berwarna, sesuai dengan neptu kelima arah, dan diselenggarakan
di natar sanggah, dan disertai dengan segehan agung 1, (sebuah).
2. Tumpek Landep :
Juga pada wara Landep, yaitu hari Caniscara Kliwon, adalah puja wali
Bhatara Çiwa, dan hari saat beryoganya Sang Hyang Pasupati Adapun untuk
pujawali Bhatara Çiwa, ialah :
Tumpeng putih kuning satu pasang, ikannya ayam sebulu, grih terasi
merah, pinang dan sirih, dan banten itu dihaturkan di Sanggah.
Adapun yoganya Sang Hyang Pasupati (Hyang Widhi dalam wujud Raja Alam semesta), ialah :
Sesayut jayeng perang, sesayut kusumayudha, suci, daksina peras, canang wangi-wangi, untuk memuja bertuahnya persenjataan.
Demikian juga menurut ajaran, dalam hubungannya dengan manusia
ialah hal itu untuk menjadikan tajamnya pikiran ; karena hal yang
demikian patut dilaksanakan dengan puja mantra sakti pasupati.
……………………..
3. Wuku Ukir :
Wuku Ukir, yakni pada Redite Umanis, adalah hari untuk melakukan
pujaan kepada Bhatara Guru, adapun upakara bebantennya, ialah :
Pengambean, 1, sedah ingapon 25 ( sirih dikapuri ), kwangen 8 buah,
bebanten mana semuanya itu dihaturkan si sanggar kemulan, namun dapat
juga ditambahkan dengan pelaksanaan upakara sedemikian rupa menurut
kemampuan ; demikianlah patutnya orang, dalam memuja Bhatara Guru, yang
dipuja di sanggar kemulan.
4. Kulantir :
Uku Kulantir, yakni pada Anggara Keliwon adalah hari unuk memuja
Bhatara mahadewa ; dengan Upakara serba berwarna kuning yakni :
Punjung kuning satu pangkon, ikannya ayam putih siungan di betutu,
sedah woh (sirih dan pinag), yang berisi kapur, dan bebanten-bebanten
itu dihaturkan disanggar.
5. Uku Wariga :
Uku wariga, yakni hari Saniscara keliwon, disebutlah hari Panguduh,
suatu hari untuk memuja kepada Sang Hyang sangkara, sebab beliaulah
yang menyebabkan menjadinya segala tumbuh-tumbuhan termasuk
kayu-kayuan. Adapun upakaranya ialah :
Peras, tulung, sesayut, tumpeng bubur dan tumpeng Agung dengan ikan
babi, atau itik diguling. Baik pula disertai dengan raka-raka,
penyeneng, tetebus, dan sesayut cakragni. Adapun bebanten tersebut
diatas, ialah mendoakan semoga atas rahmat Hyang Widhi maka segala
tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh subur bersusun-susun dan dapat dimanfaatkan
untuk kehidupan manusia dalam menentramkan hati, serta
sejahteranya hubungan lahir bathin.
6. Warigadian :
Pada wuku warigadian, yakni pada hari coma pon, ialah hari untuk
penghormatan kepada Bhatara Brahma, dengan mempergunakan bebanten sbb :
Sedah woh selengkapnya, dan menurut kemampuan, banten mana dihaturkan di
Paibon, serta menghaturkan bunga harum, sebagai biasanya dilakukan.
7. Sungsang :
Uku Sungsang, yakni pada hari Wraspati wage, disebutlah hari Pararebon.
Juga disebut hari Sugihan Jawa. Adapun hari tersebut, ialah untuk
melaksanakan prayascita ( pensucian ), para Bhatara-Bhatara semuanya,
yang disemayamkan di Prahyangan . Maka pada hari itu, dilakukanlah
upacara pensucian Bhatara-Bhatara, kemudian dari pada itu dilanjutkan
dengan upacara menghaturkan puspa harum. Lain dari pada itu, bagi orang
yang membathinkan inti hakekat samadhi (meditasi), maka
seyogyanyalah melaksanakan Yoga (renungan suci), sedangkan bagi para
wiku (pedanda, Rsi, Empu, dsb), seyogyanya pula melakukan puja stuti,
sebab pada hari itu para Bhatara turun kedunia disertai para Dewa
pitara, untuk menikmati upacara pesucian, berlangsung sampai pada hari
itu galungan. Oleh karena itu orang-ornag hendaknya melaksanakan
upacara agama, dengan natab banten sesayut dan banten tutuan, yakni
banten yang bersimbul penarik kebahagiaan lahir bathin, demikian
patut dilaksanakan.
8. Dungulan :
a. Uku Dungulan, yakni pada hari Redite paing, disebutkan bahwa Sang
Hyang Tiga Wisesa turun kedunia, dalam wujud kala, dan disebut Sang
Bhuta Galungan, yang ingin memakan san minum didunia ini, oleh karena
itu, orang-orang suci, demikian pula para sujana (bijaksana), hendaknya
waspada serta mengekang / membatasi dirinya kemudian memusatkan
pikirannya kearah kesucian, agar tiada kemasukan oleh sifat-sifat yang
membahayakan dari pengaruh-pengaruh Sang Bhuta Galungan, dan hal yang
demikian, disebutlah hari penyekeban.
b. Pada hari coma pon, adalah hari untuk melakukan yoga samadhi, dengan
memusatkan pikiran untuk menunggalnya dengan para Bhatara-Bhatara.
Itulah sebabnya, mengapa pada hari itu disebut :
Penyajaan oleh dunia ( Hindu ).
c. Pada hari Anggara Wage, disebutlah hari penampahan, Pada hari
itulah waktunya Sang Bhuta Galungan memangan. Oleh karena itu, patutlah
dilakukan penyelenggaraan hidangan oleh desa Adat, dengan korban caru
kepada Bhuta –Bhuta, bertempat diperempatan Desa adat, adapun korban
yang diberikan kepada Bhuta-Bhuta, bentuknya bermacam-macam, yakni dari
bentuk yang sederhana, sedang, dan besar. Dan yang patut memuja, ialah
para Sulinggih , unuk memohonkan kepada Hyang . Yang dimaksud
Sulinggih, yakni : Pedanda Cwa Budha, karena beliaulah yang mempunyai
wewenang dalam hal ini. (termasuk juga dalam golongan Sulinggih, yakni
Pemangku).
Lain dari pada itu, segala senjata perang, patutlah semuanya itu
diupacarai, dengan upacara pensucian oleh para Sulinggih. Tambahan pula
bagi orang-orang kebanyakan ( Umat Hindu bersangkutan ),
upacara-upacara tsb, bermanfaat untuk mendapat pahala kekuatan utama
dalam perjuangan hidup yang patut disuguhkan di masing-masing
pekarangan rumah ialah :
Segehan warna, 3. ditaburkan menurut neptu, yakni : putih, 5. hitam,
4. bang, 9. ikannya olahan babi, tetabuhan, disertai segehan Agung, 1.
Adapun tempat melakukan caru, ialah di natah pekarangan rumah, di
sanggah, dan dimuka pekarangan rumah, yang dihayat pada waktu
menjalankan caru itu, ialah Sang Bhuta Galungan. Sedang yang patut
dihayapkan oleh anggota keluarga, ialah banten pabyakala, prayascita,
dan sesayut, untuk mendapat kesuksesan dalam perjuangan hidup, sekala
niskala (lahir-batin).
d. Disebut Buda keliwon galungan, keterangannya, ialah, bahwa untuk
memusatkan pikiran yang suci bersih, disertai dengan menghaturkan
upacara persembahan kepada para Dewa-Dewa, di Sanggar parhyangan, tempat
tidur, pekarangan, lumbung, dapur, dimuka karang perumahan, tugu,
tumbal, pangulun Setra, pangulun Desa, pangulun sawah, hutan munduk,
lautan, sampai pada perlengkapan rumah, semuanya itu diadakan persajian,
dengan suguhan yang dilakukan di sanggar parhyangan, menurut besar
kecilnya sbb :
Tumpeng payas, wangi-wangi, sesucen (pembersihan ), itulah yang
disuguhkan di Sanggar. Adapun banten dibalai-balai, ialah : tumpeng
pengambean, jerimpen, pajegan, sodaan, dan perlengkapannya. Sedangkan
ikannya, ilah jejatah babi, serta asap dupa harum. Setelah selesai itu
semuanya diupacarakan, maka biarkanlah semalam, banten itu semuanya
jejerang, sampai besoknya pagi-pagi.
9. Kuningna :
a. Pada redite wage, disebut pemaridan guru, pada hakekatnya ialah saat
kembalinya para Dewata-Dewata semuanya, menuju kahyangan, jelasnya,
bahwa para Dewata-Dewata pergi, dengan meninggalkan kesejahteraan
panjang umur. Maka upacaranya :
ialah :
Menghaturkan ketipat banjotan, canang raka-raka, wangi-wangi, serta menikmati tirtha pebersihan.
b. Pada coma keliwon, disebutlah Pamacekan Agung. Pada sore harinya,
patut melakukan segehan Agung dimuka halaman karang perumahan, dan
memakai sambleh ayam semalulung yang disuguhkan kepada sang Bhuta
Galungan dan para abdinya agar pergi.
c. Buda paing kuningan ialah hari pemujaan Bhatara Wisnu, maka upacaranya ialah:
Sirih dikapuri, putih, hijau, dan pinang, 26, disertai tumpeng hitam
serta runtutannya. Menurut kemampuan, dan dihaturkan kepada Bhatara di
paibon, dan disertai pula bunga-bunga harum sebagaimana mestinya.
d. Pada hari saniscara kliwon kuningan, turunlah lagi para Dewata
sekalian, serta sang dewa pitara (leluhur) untuk melakukan pensucian,
lalu menikmati upacara bebanten, yakni :
Sege dan selanggi, tebog, serta raka-raka selengkapnya, pebersihan,
canang wangi-wangi dan runtutannya, dan menggantungkan sawen tamiang dan
gegantungan caniga, sampai pada tempat / kandang segala binatang
ternak. Janganlah menghaturkan bebanten setelah lewat tengah hari,
melainkan seyogyanyalah pada hari masih pagi-pagi, sebab kalau pada
tengah hari, Dewa-Dewa telah kembali ke sorga.
Lain dari pada itu, yang patut dipakai mendoakan manusia :
Sesayut prayascita luwih, yaitu segejenar, ikannya itik putih,
panyeneng, tetebus, yang gunanya untuk mohon kesucian pikiran, yang
suci bersih, dan tidak putus-putusnya melakukan semadhi, juga diletakkan
pasegehan di natar, yakni segehan Agung, 1.
10. Pahang :
Pada Hari Buda keliwon, disebut pegatwakan dan penjelasannya adalah,
bahwa pada hari itu titik selesainya memusatkan renungan ngekeb pikiran
bersemadhi, dalam hubungannya, bahwa sang wiku dan para orang-orang
sekalian patut membathinkan renungan suci, mempersatukan ciptannya
untuk mendapatkan kesadaran, dari mana asalnya kita pada mulanya,
renungn mana disertai dengan upakara serba suci :
Wangi-wangi dan sesayut dirghayusa, dihaturkan kehadapan Hyang widhi
Tunggal, upakara mana dilengkapi dengan penyeneng dan tetebus.
11. Merakih :
Sukra Umanis, adalah hari pemujaan Bhatara Rambut Sedana, dan beliau
juga disebut Sang Hyang Rambut Kaphala, adapun upacara bebantennya :
Suci, daksina, pras, penek, ajuman, sodha putih kuning, dihaturkan
kepada Sang Hyang rambut Sedana, keterangannya, ialah memuja melalui
pralingga beliau, yang berujud perak, mas, wang, namun ditujukan
kepada Sang Hyang Kamajaya (manifestasi Hyang Widhi yang memberi
kenikmatan hidup).
12. Uye :
Uku Uye, yakni pada hari Saniscara keliwon, disebut Tumpek Kandang, hari
pelaksanaan upacara kepada binatang-binatang, seperti binatang
sembelihan / ternak, kalau untuk sapi, kerbau, gajah, dan sebagainya,
upacara yang diberikan, adalah sebagai berikut :
Tumpeng, tebasan, paresikan, panyeneng, dan jerimpen.
Kalau unuk bawi :
Tumpeng, penyeneng, canang raka, –
Kalau untuk bawi betina :
Ketipat bekok, belayag bersama dengan segaaon.
Kalau untuk sebangsa burung, ayam, itik, angsa, kwir, perkutut, dan sebangsanya :
Ketipat sesuai dengan bentuknya, kalau untuk burung, ketipat paksi,
kalau untuk ayam ; ketipat ayam, disertai dengan panyeneng, tetebus dan
bunga-bungaan.
Keterangannya, ialah bahwa upacara itu, seperti mengupacarai manusia,
dengan mengambil bentuk utamanya pada binatang, seperti burung, ikan,
karena badan itulah umpama binatang, sedangkan jiwanya
adalah Sang Hyang Rareangon ( Çiwa ).
13. Wayang :
Secara keseluruhan pada hari itu, adalah saat bertemunya Sang Wayang
dengan Sang Sinta. Disebutlah bahwa wuku itu cemar, sehingga tidak
dibenarkan kalau melakukan pensucian,
berhias-hias, demikian juga bersisir, terutama pada hari Sukranya,
karena berakibat ternodanya nilai diri.
a. Pada hari Sukra Wage, dinamai hari kala paksa, ( Ala paksa), yakni
waktu karogan namanya. Oleh karena itu orang-orang sewajarnyalah
melakukan pembatasan, (secara simbolis), dengan menggoreskan kapur,
tepat pada dadanya (tapak dara). Dan mesesuwuk (menempatkan suatu tanda)
dengan daun pandan berduri, bertempat dibawah dipan tempat tidur,
(juga diruangan pintu). Pada esok paginya, semua sesuwuk pandan tsb,
dikumpulkan dan bertempat pada sebuha nyiru ( sidi ), disertai segehan
lalu buanglah didengen, yakni dimuka halaman keluar pekarangan. Dalam
pada itu, perlu disertai ucapan dalam pembuangannya dengan sesapa yang
bermaksud membuang kecemaran-kecemaran.
b. Menjelang hari Saniscara keliwon, adalah hari pemujaan pada Dewa
Iswara, dengan prantara mengupacarai segala kesenian (baik yang bersifat
sakral,maupun yang bersifat propan), yaitu : gong, gender, dan segala
unen-unen lainnya. Adapaun bebanten untuk itu, ialah :
Suci, pras, ajengan, ikannya itik putih, sedah woh. Canang raka, dan pasucen selengkapnya.
Sedangkan widhiwidhana untuk manusia yang diibaratkan sebagai wayangnya
Hyang Suksma, perlu diadakan pangastiti terhadap diri pribadinya, yakni
:
Sesayut tumpeng Agung, 1, dan penyeneng.
Sebab badan kita itu, juga ibarat wayang, dan Sang Hyang Iswara ibarat
dalang. Adapun pelaksanaannya, itulah ibarat gerak gerik dalam lakonnya.
Jadi tidaklah berkenan ia dijadikan pengantar yadnya (apabila) tiada
dilakukan pemujaan. Maka janganlah hendaknya orang tidak mau melakukan
pemujaan kepada Sang Hyang Iswara atau Sang Hyang Triwiradnyana (yang
menjadi sumber gerak, kata-kata, dan pikiran). Jika dilanggar nerakalah
jiwanya.
14. Watugunung :
Saniscara Umanis, adalah hari pujawali Bhatara Saraswati adapun upacaranya :
Suci, peras, daksina palinggih, kembang payas, kembang cane dan kembang
biasa, sesayut saraswati, prangkatan )rantasan) putih kuning, serta
raka-raka tidak terkecuali dengan runtutannya, Sang Hyang pustaka
(Lontar-lontar keagamaan), tempat menuliskan Aksara, itulah yang patut
diatur yang sebaik-baiknya, dipuja, dan diupacarai dengan puspa wangi :
inilah yang disebut memuja Sang Hyang Bayu (gerak, kata-kata dan
pikiran).
Pada umumnya waktu keadaan yang demikian (dalam memuja dengan bebanten),
tidak wajar menulis surat, tak wajar membaca buku-buku weda, dan
kidung kekawin, melakukan kewajarannya ialah melakukan yoga.
Komentar :
Saat melakukan yoga samadhi, bayu, sabda idep dipusatkan semuanya secara
meditasi, maka itu tidak melakukan bacaan-bacaan/menulis. Setelah
saat-saat tsb, dalam rangka merayakan memeriahkan, pada nantinya tidak
merupakan halangan mengadakan pembacaan-pembacaan dengan tujuan yang
baik, antara lain memperdalam dan menghayati intisarinya.
15. SINTA
Pada hari Redite paing pagi-pagi, disebut Banyupinaruh, saat melakukan
penyucian , yakni membersihkan diri kebeji (permandian), kemudian
mensucikan diri dengan mempercikan air kumkuman. Kemudian lanjutkan
dengan menghaturkan lelabaan pada Bhatara-Bhatara di Sanggar
masing-masing yaitu:
Sege/punjung pradnyan jenar (gading), dan jejamu serba harum, yang dihayap oleh masing-masing.
16. PANCAWARA KLIWON
Dan pada hari Pancawara, yakni setiap datangnya hari Kliwon, adalah saat
beryoganya Bhatara Çiwa, sepatutnya pada saat yang demikian, melakukan
pensucian dengan menghaturkan wangi-wangi bertempat di Merajan, dan
diatas tempat tidur, sedangkan yang patut disuguhkan dihalaman rumah,
halaman Merajan dan pintu keluar masuk pekarangan rumah, ialah segehan
kepel dua kepel menjadi satu tanding, dan setiap tempat tersebut diatas,
disuguhkan tiga tanding yakni :
a. dihalaman Sanggar, kepada Sang Bhuta Bhucari
b. di Dengen, kepada Sang Durgha Bhucari
c. untuk dihalaman rumah, kepada Sang Kala Bhucari
adapun maksud memberikan laba setiap hari Kliwon, ialah untuk menjaga,
agar pekarangan serta keluarga semuanya mendapat perlindungan dan
menjadi sempurna.
17. BYAHTARA KLIWON :
Lain lagi, pada hari Kajeng Kliwon, pelaksanaan Widhi Widhananya,
seperti halnya pada hari kliwon juga, hanya tambahannnya dengan segehan
warna limang tanding. Yang disuguhkan pada samping kori sebelah
atasnya, ialah :
Canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa, dna yang dipuja ialah Hyang Durghadewi.
Yang disuguhkan dibawahnya (segehan seperti tersebut diatas), untuk Sang
Dhurga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, yang maksudnya berkenan
memberikan keselamatan kepada penghuni rumah. Sebab kalau tidak
dilakukan demikian, maka Sang Kala Tiga Bhucari akan memohon lelugrahan
kepada Bhatara Durgha Dewi, untuk merusak penghuni rumah, dengan jalan
mengadakan gering/penyakit dan mengundang para blek megik
(pengiwa-pengiwa), segala merana-merana, mengadakan pemalsuan-pemalsuan,
yang merajalela dirumah-rumah, yang mana mengakibatkan perginya para
Dewata semuanya, dan akan memberi kesempatan para penghuni rumah
disantap oleh Sang Hyang Kala ber-sama-sama dengan abdi Bhatara Durgha.
Demikianlah maka sadarlah, dan jangan menentang pada petunjuk kami.
18. SAPTAWARA + PANCAWARA
Adalah lain lagi, harapan kami kepada anda sekalian, maka perhatikanlah,
Sahdan pada hari Anggara Kasih, keterangannya, adalah suatu saat untuk
mewujudkan cinta kasih terhadap dirinya. Maka pada hari tersebut,
sepatutnyalah untuk peleburan bencana, dan meraut dari diri segala
kecemaran, terutama kecemaran pikiran yang melekat pada diri. Caranya,
ialah dengan jalan renungan suci. Sebab dalam keadaan yang demikian,
saat Hyang Ludra melakukan yoga, yang bertujuan memusnahkan kecemaran
dunia. Maka pelaksanaan widiwidananya, ialah menghaturkan wangi-wangi,
dupa astangi, dan lanjut matirtha pembersihan.
19. BUDHA KLIWON
Buda Klion, saat Pensucian Sang Hyang, yakni ngastuti Hyang Nirmala, Jati dan Widhiwidananya :
Canang yasa, dan wnagi-wangi, menghaturkan kembang payas pada atas tempat tidur, dan di sanggar.
Tata pelaksanaan itu, dengan memuja untuk keselamatan Trimandala, yakni :
yang pertamanya ialah keselamatan badan sendiri, yang kedua ialah
sanak keluarga seketurunan dan yang ketiga, ialah keselamatan Negara.
20. BUDHA WAGE
Budha Wage, Budha cemeng namanya, keterangannya ialah, mewujudkan inti
hakekat kesucian pailiran, yakni putusnya sifat-sifat kenafsuan, itulah
yoga dari Bhatari dari Manik galih, dengan jalan menurunkan Sang Hyang
Omkara amrta ( inti hakekat kehidupan ), diluar ruang lingkup dunia
skala.
Maka patut melakukakan widhiwidana dengan :
Wangi-wangi, memuja disanggar dan diatas tempat tidur serta menghaturkan
kepada Sang Hyang Çri, lalu melakukan renungan suci pada malam
harinya.
21. SANISCARA KLIWON :
Hari Saniscara Kliwon, disebutkan hari puncak rahmat yang diberikan
kepada manusia, karenanya janganlah lupa memuja Sang Hyang maha Wisesa
(Tuhan Yang Maha Esa), janganlah menjauhkan diri, terlebih-lebih
janganlah memisahkan diri, sebab hari itu adalah turunnya sukreta dari
Sang Hyang Anta Wisesa (Tuhan Yang dalam manifestasinya memberikan
rahmat kehidupan terus menerus ) kepada dunia semuanya. Adapun cara
memujanya, adalah sebagai biasa, yakni :
Pada malam hari, tidak pantas mengambil kerja (jasmaniah), melainkan
berdiam dirilah, sambil mengheningkan cipta sesuci-sucinya, dan
memusatkan perhatian kepada Sang Hyang Dharma, serta kesadaran jiwa
menyeluruh, teringat adanya.
Janganlah orang yang telah menyadari falsafah ini tidak meyakini dan
sampai-sampai menentang kebenaran ini, sebab menyebabkan tidak mencapai
keselamatan dalam segala tindakannya. Mengapa demikian, ialah karena
orang demikian, tidak melakukan kebenaran, sehingga dapat disamakan
dengan binatang, hanya perbedaannya ( pada orang demikian ), memakan
nasi, kalau orang-orang suci ( wiku ), tidak menuruti keyakinan itu,
maka bukanlah wiku, sebagai titisan Sang Hyang Dharma.
22. CANDRA GRAHANA :
Disebutkan lagi, yakni pada saat datangnya bulan gerhana, cahaya bulan
diterkam oleh Rawu, demikianlah ceritanya, karenanya disebutkan prawesa (
tenggelam ) karena bertemunya Sanghyang Surya. Dalam keadaan yang
demikian, sepatutnyalah para rohaniawan semuanya melakukan pujaan
seperlunya, yakni upacara bulan kepaangan, dengan maksud kesempurnaan
kembali Sang Hyang Wulan, serta bebantennya :
Canang wangi-wangi dan raka-raka, dan bubur biaung serta penek putih kuning secukupnya dan puspa wangi.
Penjelasan pelaksanannya sbb :
Diluar orang-orang yang membathinkan kesucian, melakukan renugan suci
dengan membacakan isi buku-buku keagamaan dan ceritra-ceritra suci,
lain dari pada itu, bertempat di halaman rumah, patut dilakukan pujaan
kepada Sang Hyang Surya Candra. Setelah itu sebulan lamanya, akibat
terlibatnya Sang Hyang candra, maka tidak diberikan kepada mereka
melakukan kerja agama angayu-ayu memuja para Dewa, Bhuta, Pitara,
singkatnya segala karya tak boleh.
23. SURYA GRAHANA :
Pada waktu Surya Graha keterangannnya ialah Sang Hyang Surya berwujud
mrtha, karenanya dipangan oleh Sang Kala Rawu, Oleh karenanya, Hyang
Paramawisesa melibatkan dunia terkena pengaruh kecemaran, setahun
lamanya tidak diperkenankan melakukan segala yadnya angayu-ayu.
Adapun tata cara pelaksanaannya sama juga dengan pelaksanaan Candra Graha. Demikianlah.
24. PURNAMA KAPAT :
Inilah lagi suatu ucapan dari Çundarigama, yang boleh dipakai oleh Catur
Warna, yakni : Brahma, Ksatrya, Wesya, Sudra supaya dapat mencapai
keselamatan seluruh kawitannya seperti sedia kala, sebagai berikut :
Pada waktu Purnama kapat, itulah saat beryoganya Sang Hyang Çiwa, dan
para Dewata semuanya. Maka para pendeta patut melakukan pamujaan
memasang / memakai busana kependitaan sebagai mana msetinya, serta
melakukan tata cara Candra Sewana, demikian pula melakukan sembahyang
dengan menghaturkan Tarpana kehadapan Kawitan, bebantennya :
Canang genten, lenge wangi, burat wangi, dan pebersihan sedapat-dapatnya.
Adapun kehadapan Sang Hyang Wulan, menghaturkan :
Tumpeng kuning, ikannya ayam putih siungan, dan prayascita lwih, lengkap dengan pebersihan.
Sedangkan para pelindung (pamong-pamong ), serta para cendakiawan
semuanya, pada malam harinya, patutlah memohon kehadapan Hyang Widhi,
untuk mana kita dianugrahi keselamatan, kepada Ratu Dalem, patut
melakukan sembahan :
Canang lenge wangi dan canang genten.
Kepada Bhatara kawitan di Sanggar, menghaturkan bebanten sedapat-dapatnya, demikian juga diatas tempat tidur, yakni :
Banten dedari satu dulang, yang bertujuan untuk melebur segala kecemaran –kecemaran dan halangan-halangan pada diri.
25. TILEM KEWULU.
Pada Sasih Kewulu itulah dunia disebut kemasukan Bhuta Kala, karenanya
orang yang melaksanakan Agama semuanya patut bersucikan pikiran, supaya
dunia tidak kekosongan. Ketika tilem Kewulu itu, umat Agama (Hindu)
semuanya memuja Sang Hyang, dengan bebanten :
Sesayut ketipat sirikan, menurut neptu hari, ikannya palem udang, sayur
talas, daun cabai bun, dun gamongan, daun kencur, kacang ijo,
semuanya diurab, serta daun / putik daun dap-dap, (delundung) juga
menurut neptu hari, sambal gente, untu-untu juga disertai jagung,
talas, tebu, semuanya direbus, raka-raka, woh-wohan, buni, sentul,
salak, serta tetebus tadah pawitra.
BAB. III
RANGKUMAN.
Untuk memudahkan melihat hari-hari yang patut untuk melaksanakan
Widhi Widhana sebagaimana yang diutarakan, dibawah ini dibuat rangkuman
sesingkat mungkin sbb, :
1. PURNAMA KAPAT :
BEBANTEN 2
a). Kepada Bhatara kawitan : Tarpana sarwa pawitan.
b). Kepada Sang Hyang Wulan, dipelinggih di Sanggar :
penek kuning, ikannya ayam putih siungan, prayascita lwih, reresik.
c). Kepada Bhuta Kala, dinatar Sanggar, segehan agung sebuah.
d). Malam harinya melakukan renungan suci.
2. TILEM KAPAT :
Mugpug/memusnahkan kecemaran-kecemaran diri.
BEBANTEN 2
a). Kepada bhatara di parhyangan : wangi-wangi dan runtutannya.
b). Diatas tempat tidur kepada Hyang Widyadari : wangi-wangi dan sesayut widyadari.
3. PRAWANINING TILEM KEPITU PANAKLUK MRANA :
BEBANTEN 2.
a). Di tepi laut dan semacam itu :
4. TILEM KAWULU RESI GANA :
a). Di parhyangan wangi-wangi sesayut ketipat sirikan, ikannya palem
udang, menurut neptu hari, sayur-sayuran dan buah-buahan, serta tetebus
tadah pawitra.
5. SASIH KESANGA SESUCEN DEWATA KABEH :
A. Panglong ping 13 Melasti.
a). Kepada Hyang Baruna ditepi laut (dan semacamnya) : sodaan, rarapan, pasucian selengkapnya, dan samleh ayam hitam.
b). Pratima ditempatkan dipahyasan (bale agung) laksanakan banten datengan dan runtutannya.
B. Panglong ping 14 Ambhuta Yadnya.
a). Untuk rumah tangga, pekarangan, segehan manca warna 9 tanding, ikannya ayam brumbun yang diolah.
Segehan Agung sebuah, dan segehan sasah 108 tanding.
Tempat upacara, dimuka pintu pekarangan keluar masuk rumah. Yang dihayat
: Bhuta raja, kala raja, bhuta Kala, Kala Bala. Senja hari mgerupuk,
serana semburkan meswi dan obor.
b). untuk penghuni keluarga.
Sesayut pamyakala, sesayut lara malaradan, prayascita.
C. TILEM KESANGA.
Anyepi. Amati geni, renungan suci.
6. PURNAMA KEDASA :
Pujawali Hyang Sunia Amerta.
BEBANTEN 2.
a). Di Parhyangan.
Suci 1, daksina 1, ajuman adandanan, rayunan aparangkat 1, ikannya serba suci, wangi-wangi, reresik.
b). Dinatar / sor.
Segehan Agung 1, segehan sasah 6, ikannya bawang jahe.
c). Untuk manusia.
Prayascita lwih, panyeneng teenan.
7. SETIAP HARI TILEM HYANG SURYA BERYOGA/SETIAP HARI PURNAMA,
SANG HYANG CANDRA BERYOGA.
BEBANTEN 2.
a). Di Parhyangan.
Wangi-wangi, canang biasa.
b). untuk diri, mohon serta pensucian.
8. UKU SINTA.
A. COMA RIBEK. Sesucen Hyang Çriamrta.
BEBANTEN-BEBANTEN
a). Di Pulu, lumbung, dsb.
Nyah-nyah, geti-geti, grinsing, raka pisang mas, wangi-wangi.
13. SABUH MAS (SELASA), sesucen Hyang Mahadewa.
BEBANTEN-BEBANTEN
a) Untuk harta benda dsb. : Suci 1, daksina 1, peras penyeneng, sesayut sari, canang lenga wangi, burat wangi, reresik.
b) Tempat di Piasan, setelah selesai menghayat, lalu diri masing-masing mohon tirtha.
C. PAGERWESI (BUDHA KLIWON) YOGAN HYANG PRAMESTI GURU
BEBANTEN-BEBANTEN
a) Di Sanggah Kemulan : daksina, suci, pras, penyeneng, sesayut, pancalingga, penek ajunan, rake-rake, wangi-wangi.
b) Untuk diri : sesayut pageh urip, prayascita, dan pada malam harinya melakukan renungan suci
c) Untuk panca Bhuta : segehan warna, anut uripin panca desa, (lima
arah) tempatnya di natar Sanggah, ditambah sebuah segehan Agung.
9. UKUN LANDEP SANISCARA KLIWON
Pujawali Bhatara Çiwa dan yoga dari Hyang Pasupati
BEBANTEN-BEBANTEN
a) Kepada Hyang Çiwa : tumpeng putih kuning adandanan, ikannnya menurut
kemampuan, grih trasi bang, sedan woh 28, tempatnya di Sanggar.
b) Kepada Hyang Pasupati : sesayut jayeng prang, sesayut kesuma yuda,
suci, daksina, pras, canang wangi-wangi, reresik dihayatkan kepada
senjata-senjata tajam, dan memuja Hyang Pasupati.
10. UKIR REDITE UMANIS
Pujawali Bhatara Guru
BEBANTEN-BEBANTEN
a) Kepada Bhatara Guru, pengambean, sedah ingapon 25, kwangen 8, tempatnya di Sanggah Kemulan.
11. KULANTIR ANGARA KASIH
Pujawali Bhatara Mahadewa
BEBANTEN-BEBANTEN
a) Kepada Bhatara Mahadewa : segehan kuning sepangkon, ikannya ayam
putih siungan betutu, sedah woh 22, ingapon. Tempat di Sanggar.
12. WARIGA SANISCARA KLIWON
Pujawali Sang Hyang Sangkara
BEBANTEN-BEBANTEN
a) Diayatkan untuk tumbuh-tumbuhan, pras, tulung, sesayut, tumpeng
bubur, tumpeng agung, ikannya guling babi, (boleh itik), raka-raka,
penyeneng, tetebus, sesayut cakragni.
13. WARIGADEAN COMA PAING
Pujawali Bhatara Brahma
BEBANTEN-BEBANTEN
a) Untuk Hyang di Sanggar : sedah woh, selengkapnya, puspa wangi dan runtutannya. Tempat di Paibon.
14. SUNGSUNG WRASPATI WAGE
Patirtan Bhatara di Sanggah
BEBANTEN-BEBANTEN
a) Kepada Bhatara-bhatara di Sanggar
Banten rerebon jangkep, reresik, wangi-wangi
b) Untuk keluarga : sesayut 1, dan tutwan
c) Bagi rohaniawan : malamnya mengadakan renungan suci
15. DUNGULAN
Pujawali Hyang Tiga Wisesa
BEBANTEN-BEBANTEN
a) Redite Paing : pangekeban, melakukan renungan suci
b) Coma pon : Penyajaan, melakukan renungan suci.
c) Anggara Wage : Penempahan caru dirumah tangga.
Dinatar = segehan warna tiga, berjejer, ikannya olah-olahan, segehan Agung 1,
Dinatar sanggar = segehan warna tiga, berjejer, ikannya olah-olahan, yang dihayat : Sang Bhuta Galungan.
d) Budha kliwon Galungan.
Bebanten disanggar. Tumpeng payas, wangi-wangi, sesucen.
Bebanten di balai-balai :
Tumpeng pengambian, jrimpen pajegan, sodan, ikannya jejatah babi gorengan.
Lain dari pada itu disemua bangun-bangunan, juga dilaksanakan penghayatan dengan bebanten seperlunya,
e) Wraspati Umanis Galungan.
Persiapan-persiapan : Pagi menÇri air kumkuman.
Banten di sanggar : wangi-wangi, asep, dupa, mohon tirta pakuluhnya ring Galungan.
Banten di natar Sanggah : segehan sekedarnya.
16. KUNINGAN
BEBANTEN 2,
a) Redite Wage / Pemaridan Guru.
Ketipat banjotan, canang raka, wangi-wangi, tirta pabersihan. Tempatnya Sanggah kemulan.
b) Budha Paing.
Pujawalin Bhatara Wisnu.
Sedah ingapon, putih hijau, pinang 26, tumpeng (nasi) hitam, dan runtutannya seberapa mampu membuat.
Tempat memuja di paibon.
c) Sukra Wage.
Hanya penting melakukan renuangan suci.
d) Saniscara kliwon.
Tumpek kuningan.
Di Sanggah : sega selanggi, tebog, raka-raka, pasucian. (tamyang, caniga, paa pembangunan).
Untuk manusia : sesayut prayascita lwih, punjung kuning, ikannnya itik putih, penyeneng, tetebus.
Untuk dinatar pekarangan : segehan Agung sebagai biasa. Menghayat hanya dilakukan sebelum Jam 12 siang.
17. PAANG PEGAT WAKAN.
BEBANTEN 2.
Wangi-wangi dan pasucen.
Tempatmnya di parhyangan-parhyangan.
18. MERAKIH PUJAWALIN BHATARA RAMBUT SEDANA.
BEBANTEN
a) Sukra Umanis : Suci, daksina, pras penek ajuman, soda putih kuning. Memuja Hyang kamajaya.
Tempatnya : dimana menyimpan harta kekayaan.
19. UYE / TUMPEK KANDANG.
Mengupakarai binatang ternak.
BEBANTEN 2.
Banten disanggar : suci, peras, daksina, panyeneng, canang lenga wangi,.
Burat wangi, pasicen, yang dihayat Sanghyang Rareangon.
Banten untuk ternak jantan.
Tumpeng, sesayut 1, panyeneng, reresik, Jrimpen, canang raka.
Banten untuk ternak betina.
Seperti juga ternak jantan hanya ditambah ketipat belekok blayag, pesor.
Banten bagi ternak bangsa burung.
Ketipat paksi, ketipat sidha purna, bagia, penyeneng, tetebus kembang payas.
20. WAYANG.
BEBANTEN 2.
a) Sukra Wage, kalapasa : sasuwuk dengan daun pandan berisi kapur, segehan, asep, (api takep).
b) Saniscara Kliwon Tumpek Wayang : pujawalin Bhatara Iswara, untuk
unen-unen. Suci, peras, ajengan, ikannya itik putih sedah woh, canang
raka, pasucen.
Untuk manusia : sesayut tumpeng Agung 1, prayascita, panyeneng.
21. WATUGUNUNG.
BEBANTEN 2.
a) Saniscara Umanis Pujawalin Bhatara Saraswati.
Suci, peras, daksina, pelinggih, kembang payas, kembang cane, kembang
biasa, sesayut saraswati, prangkatan putih kuning, raka-raka,
wangi-wangi, tempat menghayat : Lontar-lontar dan lain-lain.
b) Redite paing Sinta : Banyu Pinaruh
Bebanten 2
Di Sanggar, sege (punjung nasi pradungan kuning), jejamu serba harum mohon tirtan pensucian.
22. PANCA WARA KLIWON YOGYANYA BHATARA ÇIWA
BEBANTEN 2.
a) Pada pelinggih di Merajan wangi wangi, asep dupa harum.
b) Pada natar Sanggah untuk Sang Bhuta Bhucari segehan kepel 2 kepel, menjadi satu tanding dihaturkan 3 tanding.
c) Pada natar pekarangan untuk Sang Kala Bhucari sama dengan dinatar Sanggah
d) De Dengen, antuk Sang Durga Bucari sama dengan di natar Sanggah dan pekarangan rumah.
23. KAJENG KLIWON.
BEBANTEN 2.
a) Sama dengan hari kliwon.
b) Yang di Dengen bertambah segehan warna lima tanding, dan tabuh.
c) Disamping lawang diatas, banten canang wangi, burat wangi, canang yasa, hayat Sang Hyang Dhurgadewi.