Kamis, 30 Juli 2015

seputar altenator

SEPUTAR ALTERNATOR
Sistem pengisian mempunyai 3 komponen penting yakni Aki, Alternator dan Regulator.
Alternator ini berfungsi bersama sama dengan Aki
untuk menghasilkan listrik ketika mesin dihidupkan.
Hasil yang dihasilkan oleh alternator adalah tegangan AC
Yang kemudian dikonversi/diubah menjadi tegangan DC.

RANGKAIAN SISTEM PENGISISAN
Ke empat kabel ( soket ) dihubungkan dengan alternator di sepanjang rangkaian kelistrikan.
“B” adalah kabel output alternator yang mensuplai langsung ke aki.
“IG” adalah indikator kontak yang ada dialternator.
“S” digunakan oleh regulator untuk mengatur strum pengisian ke aki.
“L” adalah kabel yang digunakan oleh regulator untuk indikator lampu ( CHG ).

IDENTITAS TERMINAL ALTERNATOR
“S” Terminal indikator Voltase aki.
“IG” Terminal indikator strum kontak.
“L” Terminal lampu indikator.
“B” Terminal Output Alternator.
“F” Terminal tegangan langsung ( bypass ).


ALTERNATOR ASSY
Alternator terdiri dari :
gabungan kutub magnet yang dinamakan Rotor.
Gulungan kawat magnet yang dinamakan stator.
Rangkaian dioda yang dinamakan rectifier.
Alat pengatur voltase yang dinamakan regulator.
Dua kipas dalam ( internal Fan) untuk menghasilkan
sirkulasi udara.

MODEL ALTERNATOR
Kebanyakan alternator menpunyai regulator
yang berada didalamnya ( IC built In), dan tipe yang lama
mempunyai regulator diluar.
Tidak seperti model yang lama,
Tipe ini dapat dengan mudah diperbaiki dengan
Membuka tutup bagian atasnya.

POLI ALTERNATOR
Poli alternator diikat/dikencangkan ke bagian sumbu rotor.
Tipe poli tunggal atau poli PK dapat digunakan.
Alternator tipe ini tidak mempunyai kipas luar yang
Menjadi bagian dari polinya.
Tidak seperti jenis alternator lama yang menggunakan
kipas luar untuk pendinginan, alternator ini mempunyai
2 kipas dalam untuk sirkulasi udara pendingin.
BAGIAN DALAM ALTERNATOR
Jika bagian atas altenator dibuka :
Regulator yang mengontrol tegangan output alternator.
Carbon Brush yang menempel dengan bagian atas rotor
( Slip Ring).


Rangkaian dioda (rectifier) yang mengkonversi (mengubah)
voltase AC menjadi voltase DC.
Slip Ring (bagian dari rotor) dihubungkan dengan setiap dari
Field winding.

CARBON BRUSH
Dua slip ring yang berada di setiap bagian atas rotor.
Slip ring dihubungkan dengan field winding dimana carbon brush
dapat bergerak, dan ketika arus mengalir melalui field winding
Lewat slip ring, akan ada arus magnet disekitar rotor.

2 buah arang yang diposisikan sejajar yang
akan menempel dengan slip ring. Carbon brush disolder atau
Diikat dengan baut.
IC REGULATOR
Regulator adalah otak dari sistem pengisian.
Regulator mengatur keduanya baik itu voltase aki
dan voltase stator, dan tergantung dari kecepatan putaran mesin,
regulator akan mengatur Kemampuan kumparan rotor
untuk menghasilkan output Alternator.
Regulator dapat diganti baik itu internal regulator atau eksternal.
Dewasa ini rata rata semuanya sudah memakai internal regulator.

DIODE RECTIFIER
Rangkaian Dioda bertanggung jawab atas konversinya
tegangan AC ke tegangan DC.

6 atau 8 diode digunakan untuk mengubah tegangan stator AC
ke tegangan DC.
Setengah dari diode tersebut digunakan dalam kutub positif
Dan setengahnya lagi dalam kutub negatif.

BAGIAN DALAM ALTERNATOR
Rotor yang diantaranya terdiri dari kutub kutub magnet
yang berputar mengelilingi didalam stator. Putaran Rotor
menciptakan arus magnet disekelilingnya.
Gulungan (stator) mengembangkan tegangan yang
dikarenakan magnet yang berputar maka arus akan diinduksi
melalui terminal stator.



RANGKAIAN ROTOR
Rotor terdiri dari kutub kutub magnet, inti field
winding dan slip ring.

Beberapa model/tipe termasuk mensupport lahar
dan satu atau dua kipas didalamnya.
Rotor digerakkan atau diputar didalam alternator
dengan putaran tali kipas mesin.

Rotor yang terdiri kutub kutub magnet, field winding, dan
Slip ring, bagian bagian ini padat bersambungan pada sumbu
rotor, field winding dihubungkan kepada slip ring dimana
carbon brush dapat bergerak.
Ada dua lahar yang terdapat dirotor, satu di bagian bawah slip
ring, dan satunya berada dibagian atas sumbu rotor.

Field Winding Rotor Menciptakan lapangan magnet
yang disebabkan oleh arus yang mengalir melewati
slip ring.
Magnet tersebut disatu disisi menjadi kutub selatan,
dan disisi lain menjadi kutub utara.
STATOR HUBUNGAN STATOR - ROTOR
Hubungan putaran rotor berputar didalam stator :
Arus magnet alternator yang berasal dari dari putaran rotor
menginduksi tegangan kepada stator.
Kekuatan dan kecepatan dari putaran arus magnet yang
dihasilkan rotor akan berakibat terhadap tegangan induksi
kepada stator.

Stator mempunyai 3 fase gulungan yang diisolasi
kepada stator, gulungan tersebut terhubung antara
satu dengan yang lainnya.
Setiap fase ditempatkan diposisi yang berbeda
dibandingkan dengan yang lain.
Gulungan yang diisolasi itu menghasilkan
medan magnet.

RANGKAIAN DIODE - RECTIFIER
Diode digunakan sebagai penyearah tegangan.
Diode mengubah tegangan AC menjadi tegangan
DC sehingga aki menerima listrik yang benar.


PENGATUR TEGANGAN
Regulator akan mengatur tingkat / level
sistem pengisian tegangan.

Ketika sistem pengisian tegangan dibawah dari yang
ditentukan, regulator akan meningkatkan arus listrik tegangan,
yang akan berakibat terciptanya arus magnet yang kuat,
hasilnya akan meningkatnya output alternator.
Ketika sistem pengisisan tegangan diatas yang ditentukan,
regulator akan menurunkan arus listrik tegangan,
dan membuat arus magnet menjadi lemah,
hasilnya output alternator yang semakin Kecil.


Regulator mengatur tegangan aki, dan juga mengatur
arus yang mengalir ke rangkaian rotor.

Rangkaian rotor menghasilkan arus magnet.
Tegangan yang dihasilkan diinduksi di stator.
Rangkaian rectifier mengubah tegangan stator AC menjadi
tegangan DC yang digerakkan ole p

Rabu, 29 Juli 2015

leak

Di pulau Bali,  Lontar adalah sebagai salah satu Sastra dari daun-daun pohon siwalan yang sudah tua. Lontar dengan segala isinya merupakan salah satu warisan kekayaan rohani orang Bali yang memiliki arti yang sangat penting dan strategis. Sastra / Lontar-lontar di Bali, secara kualitatif maupun kuantitatif memiliki nilai yang sangat berharga.
Pembagian kepustakaan lontar Bali lebih disistematiskan menjadi :
  1. Weda (weda, mantra, kalpasastra);
  2. Agama (palakerta, sasana, niti);
  3. Wariga (wariga, tutur, kanda, usada);
  4. Itihasa (parwa, kakawin, kidung, geguritan);
  5. Babad (Pamancangah, usana, uwug), dan
  6. Tantri (tantri, satua).
Pada artikel ini  akan sedikit mengungkapkan dari salah satu Lontar yang dalam kategori Trantra dan saya spesifikan isinya khusus pada bagian Pangleakan. Sebagai  refrensi tentang lontar pengleakan diantaranya; “Lontar Tantra Bhairawa, Kanda Pat dan Siwa Tantra”.
Istilah Tantrayana berasal dari akar kata Tan = yang artinya memaparkan kesaktian atau kekuatan daripada Dewa itu. Di India penganut Tantrisme lebih banyak terdapat di India Selatan dibandingkan dengan India Utara.
Kitab kitab yang memuat ajaran Tantrayana banyak sekali kurang lebih ada 64 macam antara lain : Maha Nirwana Tantra, Kularnawa Tantra, Tantra Bidhana, Yoginirdaya Tantra, Tantra sara, dsb.
Dari Tantrisme munculah suatu faham “BHIRAWA” yang artinya hebat.
Paham Bhirawa secara khusus memuja kehebatan daripada sakti, dengan cara cara yang spesifik.  Bhairawa inipun sampai berkembang ke Cina Tibet, dan Indonesia.
Di Indonesia masuknya saktiisme, Tantrisma dan Bhairawa, dimulai sejak abad ke VII melalui kerajan Sriwijaya di Sumatra, sebagaimana diberikan pesaksian oleh prasasti Palembang tahun 684, berasal dari India selatan dan tibet.
Perkembangan Saktiisme di Bali juga menjurus dua aliran mistik yaitu “PENGIWE & PENENGEN”
Dari Pengiwa munculah pengetahuan tentang “LEYAK”.
DESTI = Serana, TELUH = cetik TARANJANA = yang bisa terbang dan WEGIG = bebeki.
Dari Penengen muncullah pengetahuan tentang “KEWISESAN” dan “PRAGOLAN” = mantra.
Pengiwa berasal dari sistem “Niwerti” dalam doktrin Bhairawa, sedangkan penengen berasal dari sistem “Prawerti” dalam doktrin Bhairawa.
Selain itu beberapa formula dalam Atharwa Weda mengilhami mistik ini. Adapun kitab kitab Tantrayana di Indonesia antara lain: TANTRA WAJRA DHASUBUTHI CANDARA BHAIRAWA dan SEMARA TANTRA
Pada Jaman Raja Udayana yang berkuasa di Bali pada abab ke 16, saat I Gede Basur masih hidup yaitu pernah menulis buku lontar Pengeleakan dua buah yaitu “Lontar Durga Bhairawi” dan “Lontar Ratuning Kawisesan”. Lontar ini memuat tentang tehnik-tehnik Ngereh Leak Desti.
Dalam aksara Bali tidak ada yang disebut leak, yang ada adalah “liya, ak” yang artinya lima aksara(memasukkan dan mengeluarkan kekuatan aksara dalam tubuh melalui tata cara tertentu.
Lima aksara tersebut adalah Si, Wa, Ya, Na, Ma.
  • Si adalah mencerminkan Tuhan. 
  • Wa adalah anugerah, 
  • Ya adalah jiwa. 
  • Na adalah kekuatan yang menutupi kecerdasan. 
  • Ma adalah egoisme yang membelenggu jiwa.
Kekuatan aksara ini disebut panca gni(lima api). Manusia mempelajari kerohanian apapun, ketika mencapai puncaknya pasti akan mengeluarkan cahaya(aura), cahaya ini keluar melalui lima pintu(indria)tubuh yaitu: telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan namun pada umumnya cahaya itu keluar melalui mata dan mulut.
Tempat bermain-main leak adalah Kuburan. Apabila ada orang yang baru meninggal, anggota leak wajib datang ke kuburan untuk memberikan doa agar roh orang yang meninggal mendapatkan tempat sesuai dengan karmanya.
Doa leak tersebut berbunyi: Ong gni brahma anglebur panca maha bhuta, anglukat sarining merta. mulihakene kite ring betara guru, tumitis kita dadi manusia mahotama. ong rang sah, wrete namah.
Di Bali kuburan sering identik dengan keramat, seram karena seling muncul hal-hal aneh.  kenapa ? karena disinilah tempatnya roh berkumpul dalam pergolakan spirit. Sensasi yang  datang  dari orang yang melakukan Pangleakan tersebut adalah bisa keluar dari tubuhnya melalui ngelekas atau ngerogo sukmo.
Kata ngelekas artinya kontraksi batin agar badan astral kita bisa keluar. Inilah alasanya orang ngeleak. Roh bisa berjalan keluar dalam bentuk cahaya melesat dengan cepat, inilah yang disebut endih. Bagi yang mempelajari kerohanian apa saja, apabila mencapai puncaknya dia pasti akan mengeluarkan cahaya (aura). Cahaya ini keluar melalui lima pintu indria tubuh yakni telinga, mata, mulut, ubun-ubun, serta kemaluan.
Endih ini adalah bagian dari badan astral manusia (badan ini tidak dibatasi oleh ruang dan waktu). Di sini pelaku bisa menikmati keindahan malam dalam dimensi batin yang lain. Dalam dunia pengeleakan ada kode etiknya.
Leak mempunyai keterbatasan tergantung dari tingkatan rohani yang dipelajari. Ada tujuh tingkatan leak :
  1. Leak barak (brahma). Leak ini baru bisa mengeluarkan cahaya merah api.
  2. Leak bulan,
  3. leak pemamoran,
  4. Leak bunga,
  5. leak sari,
  6. leak cemeng rangdu,
  7. leak siwa klakah. Leak siwa klakah inilah yang tertinggi. Sebab dari ketujuh cakranya mengeluarkan cahaya yang sesuai dengan kehendak batinnya.
Tingkatan leak paling tinggi menjadi bade (menara pengusung jenasah), di bawahnya menjadi garuda, dan lebih bawah lagi binatang-binatang lain, seperti monyet, anjing ayam putih, kambing, babi betina dan lain-lain. selain itu juga dikenal nama I Pudak Setegal (yang terkenal cantik dan bau harumnya), I Garuda Bulu Emas, I Jaka Punggul dan I Pitik Bengil (anak ayam yang dalam keadaan basah kuyup).
Dari sekian macam ilmu Pengleakan, ada beberapa yang sering disebut seperti
  • Bajra Kalika yang mempunyai sisya sebanyak seratus orang,
  • Aras Ijomaya yang mempunyai prasanak atau anak buah sebanyak seribu enam ratus orang. Di antaranya adalah I Geruda Putih, I Geringsing, I Bintang Sumambang, I Suda Mala, Pudak Setegal, Belegod Dawa, Jaka Tua, I Pering, Ratna Pajajaran, Sampaian Emas, Kebo Komala, I Misawedana, Weksirsa, I Capur Tala, I Anggrek, I Kebo Wangsul, dan I Cambra Berag. Disebutkan pula bahwa ada sekurang-kurangnya empat ilmu bebai yakni I Jayasatru, I Ingo, Nyoman Numit, dan Ketut Belog. Masing-masing bebai mempunyai teman sebanyak 27 orang. Jadi secara keseluruhan apabila dihitung maka akan ada sebanyak 108 macam bebai.

Macam-macam ilmu pengLeakan lainnya :

Aji Calon Arang, Ageni Worocana, Brahma Maya Murti, Cambra Berag, Desti Angker, Kereb Akasa, Geni Sabuana, Gringsing Wayang, I Tumpang Wredha, Maduri Geges, Pudak Setegal, Pengiwa Swanda, Pangenduh, Pasinglar, Pengembak Jalan, Pemungkah Pertiwi, Penyusup Bayu, Pasupati Rencanam, Rambut Sepetik, Rudra Murti , Ratna Geni Sudamala, Ratu Sumedang, Siwa Wijaya, Surya Tiga Murti, Surya Sumedang, Weda Sulambang Geni, keputusan Rejuna, Keputusan Ibangkung buang, Keputusan tungtung tangis, keputusan Kreta Kunda wijaya, Keputusan Sanghyang Dharma, Sang Hyang Sumedang, Sang Hyang Surya Siwa, Sang Hyang Geni Sara, Sang Hyang Aji Kretket, Sang Hyang Siwer Mas, Sang Hyang Sara Sija Maya Hireng, dan lain-lain yang tidak diketahui tingkatannya yang mana lebih tinggi dan yang mana lebih rendah.
Hanya mereka yang mempraktekkan ilmu-ilmu tersebut yang mengetahuinya.
Setiap tingkat mempunyai kekuatan tertentu. Di sinilah penganut leak sering kecewa, ketika emosinya labil. Ilmu tersebut bisa membabi buta atau bumerang bagi dirinya sendiri. Hal inilah membuat rusaknya nama perguruan. Sama halnya seperti pistol, salah pakai berbahaya. Makanya, kestabilan emosi sangat penting, dan disini sang guru sangat ketat sekali dalam memberikan pelajaran.
Selama ini leak dijadikan kambing hitam sebagai biang ketakutan serta sumber penyakit, atau aji ugig bagi sebagian orang. Padahal ada aliran yang memang spesial mempelajari ilmu hitam disebut penestian. Ilmu ini memang dirancang bagaimana membikin celaka, sakit, dengan kekuatan batin hitam. Ada pun caranya adalah dengan memancing kesalahan orang lain sehingga emosi. Setelah emosi barulah dia bereaksi.
Pengwia banyak menggunakan rajah-rajah ( tulisan mistik) dan dia juga pintar membuat sakit dari jarak jauh, dan “dijamin tidak bisa dirontgen dan di lab”. Aliran ini bertentangan dengan pengeleakan, apabila perang beginilah bunyi mantranya, “ong siwa gandu angimpus leak, siwa sumedang anundung leak, mapan aku mapawakan ………..”

lontar sundari gama

Çundarigama
BUKU INI ADALAH TERJEMAHAN LONTAR ÇUNDARIGAMA YANG DITERBITKAN OLEH
PARISADHA HINDU DHARMA KABUPATEN
TABANAN
TH 1976
BAB I
OM AWIGNAM ASTU NAMA SIDHYAM
1e. Inilah çundarigama namanya, yang merupakan tatacara yang dibenarkan dalam melaksanakan ajaran Agama, dari sabda Sang Hyang Suksma Licin ( Hyang Widhi nan niskala dan Maha suci ), kepada para Rsi semuanya, sebagai pelaksana tatacara keagamaan diwilayah suatu Negara, dan yang patut dilaksanakan oleh masyarakat sewilayah bersangkutan semuanya, dengan tujuan agar tentramlah negara dan pemerintahan, demikian pula sejahteralah rakyatnya, sebab tata cara yang demikian itu, adalah suci dan sangatlah utama.
2e. Maka berkenanlah para Dewata semuanya, menerima puja persembahan suci itu, dan Brahma, Wisnu dan Içwara, karena telah dipuja oleh para para Resing langit. Lalu Sang Hyang Çiwa Budha berkenan merestui, betapa sabda Nya, adalah demikian.
3e. Wahai anakku para purohita semuanya, Çiwa dan Budha, dengarlah nasehatku ini olehmu anakku, bahwa dalam ajaran Agama Çundarigama yang merupakan tuntunan pelaksanaan pensucian isi dari Wariga Gemet, sebagai kehidupan dunia, wujud dalam memuja Sang Hyang Widhi, dan menjadi perantara bagi manusia untuk menyelamatkan dirinya, yang menjadi jalan/tuntunan dalam memohon Rahmat Hyang Widhi yang Maha Kuasa : Çundarigama ini diturunkan didunia dan diberikan kepada manusia, untuk mana menyebabkan manusia dapat menikmati kebahagiaan keutamaan, yaitu keselamatan yang terus menerus di alam tiga ini (bhur, bwah, swah ).
Itulah keutamaan yang amat mulia, bagi manusia, dan itulah yang menyebabkan langgengnya kesucian bagi negara dan rajanya. Mening, yaitu murnilah kebahagiaan para Purohita semuanya, dan makmurlah rakyatnya, gairah pula para pelajar-pelajarnya ; betapakah misalnya adalah sebagai beikut :
4.e Pada saat hari yang baik, yakni hari yang disebut sasucen Hyang, yang diikuti oleh para Dewata semuanya, para Gandarwa-gandarwi, Widyadara-widyadari, Resinglangit, dan diikuti pula oleh Hyang pitara yang telah disucikan, sehingga dapat mencapai alam Sorga, demikian pula para pitara yang masih dalam alam pitara loka kesemuanya itu ikut serta memanfaatkan waktu bersucian, beryoga semadi untuk keselamatan dunia, karenanya bersenanglah beliau, bersemayam didunia dan akasa. Maka menjadi sucilah dunia ini, seakan-akan melimpahkan ketentraman, baik terhadap manusia semuanya, maupun terhadap segala mahluk yang ditakdirkan didunia. Demikianlah maka manusiapun patutlah ikut serta melaksanakan cinta kasih seperti yang dilimpahkan oleh Hyang Widhi, berbakti dengan upacara yang disuguhkan kepada para Bhatara, demikianlah tata caranya.
5e. a.Purnama Sasih Kapat Beginilah prihalnya menurut perhitungan masa yaitu pada masa sasih kapat (oktober), pada saatnya bulan penuh(Purnama) maka beryogalah Bhatara Paramecwara, Sag Hyang Purusangkara, (setahun untuk Hyang Widhi sebagai Mahadewa dan Maha Purusa), manunggal dengan Bhatari(mewujudkan wisesa Nya), diikuti oleh golongan Dewa semuanya, serta golongan widyadara-widyadari dan Resing langit semuanya sejak dahulu kala. Dalam halnya yang demikian, sepatutnyalah orang-orang suci (Pandita dan pinandita), melakukan puja stuti dengan memakai tanda/busana sebagaimana mestinya, dan bersiap-siap melakukan puja bakti kehadapan Sang Hyang Candra. Demikian pula kepada Hyang Kawitan mengaturkan bebanten serba suci. Adapun yang dihaturkan kehadapan Hyang Ratih, (sebutan terhadap Hyang Widhi sebagai Soma), ialah :
Penek kuning, prayascita luwih, pangreresik, serta daging dalam penek itu, ialah ayam putih siyungan.
Adapun banten yang di Sor (bawah), ialah :
Segehan agung 1 soroh
Lain daripada itu, orang-orang (umat bersangkutan), hendaknya melakukan bhakti dengan muspa dihadapan Sanggar dan Perhyangan, demikian juga pada Pelinggih-pelinggih di pedarman, yang menjadi penyungsungnya. Akhirnya pada malam hari itu usahakanlah melakukan renungan suci, dengan dyana dan samadi.
b.Tilem Sasih Kapat
selanjutnya pada saat datangnya hari Tilem sasih Kapat, patut melakukan upacara pemusnah kecemaran-kecemaran diri, yang disebut “Pamugpug raga roga”, dengan jalan menghaturkan banten wangi di Sanggar Parhyangan, sedangkan yang patut dihaturkan diatas tempat tidur, ialah sesuatu yang dapat mewujudkan ketenangan hati. Antara lain; bebanten sesayut Widyadari, yang umum disebut bebanten Dedari, sebanyak satu soroh, untuk memuja Hyang Widyadara-widyadari.
Adapun tujuan menghaturkan bebanten itu, ialah memohon ketenangan pikiran, didalam melakukan tugas hidup sehari-hari, khususnya bagi kaum wanita, disebut kepatibratan. Karena itulah, maka pada tengah malamnya disarankan untuk melakukan “Monabrata” yakni memusatkan segenap pikiran untuk sesaat dan mengarahkan kepada Sang Hyang Widhi. Jika hal itu tepat dapat dilakukan, maka pahalanya akan dapat mensucikan kecemaran diri, yang disebut : “Lukat papa pataka letuhing sarira”
6e a.Bulan mati pada bulan Maret
Tersebutlah pada saat datangnya casih Kasanga (Maret), yang disebut “Centramasa”, terutama pada bulan mati (tilem), adalah hari untuk bersucinya para Dewa semua, bertempat dilautan, guna menikmati inti hakekat air suci kehidupan abadi (yang bertempat di lautan). Karena itu seyognyalah orang-orang (umat bersangkutan) semua menghaturkan puja bakti kehadapan raja Dewata, dengan tata cara sebagai berikut :
Pada panglong ping 14 sasih ke Sanga, hendaknya melakukan Bhuta Yadnya, bertempat di perempatan Desa Pakraman (Desa Adat). Adapun tingkatan-tingkatannya, ialah sekecil-kecilnya dengan cara yang disebut Pancasata (ayam 5 ekor); ditingkatan menengah, dengan Pancasanak (dasar caru ayam 5 ekor, ditambah itik bulu sikep sebagai ulu), sedangkan dalam tingkatan utama (besar), ialah tawur Agung (Pancawalikrama), dan seterusnya dengan memakai Yamaraja. Adapun Bhuta Yadnya tersebut dipuja oleh Sang Maha Pandita (Pedanda, Rsi, Empu, dsb).
Untuk karang paumahan dilakukan upacara pasuguh-suguh, yang berbentuk segehan mancawarna, banyaknya sembilan tanding, dengan ikannya ayam brumbun yang diolah, petabuh tuak dan arak. Adapun caru tersebut diupacarakan didengen (dimuka karang perumahan), yang disuguhi, ialah Sang Butha Raja, Sang Butha kala dan Kalabala diberi sesuguh dengan sege nasi sasah 108 tanding berisi jejeron mentah, serta segehan Agung satu tanding. Pada sore harinya sepatutnya tawur itu dilaksanakan semuanya.
Apabila tawur itu selesai diupacarakan barulah dilakukan Pangrupukan, dan itulah suatu jalan upacara yang bertujuan dapat mengembalikan Butha kala serta membatalkan usahanya membuat mara bahaya. Adapun alat yang lain ialah melakukan obor-obor dengan membawa api prapak, sembur meswi, dengan diantar puja mantra penolak mara bahaya, mantra penyengker agung, dengan mengelilingi pekarangan perumahan dan membawa api/obor. Setelah selesai melakukan obor-obor itu, maka orang-orang (umat) dalam keluarga baik laki-laki maupun perempuan lalu melakukan upacara abyakala ditengah-tengah pekarangan serta natab sesayut pamyak kala, lara malaradan, dan prayascita. Hari esoknya, lakukan sipeng amati geni, dan tidak melakukan pekerjaan jasmani, bahkan berapi-apipun ditiadakan ditempat pekarangan desa pakraman.
Yang penting diperhatikan, ialah bagi mereka yang mendalami ajaran brata-semadi, patut melakukan yoga samadi pada hari itu.
7e. Melelastikan / Mensucikan Pratima
Demikian pula hendaknya pada bulan panglong ke 13 sebelum Tilem, hendaknya dilakukan pensucian bagi pratima, yang menjadi lambang dari Sang Hyang Tiga Wisesa, misalnya : di Pura Puseh, Desa dan Dalem.
Lain pada itu, diikut sertakan pula segala arca-arca yang menjadi simbul melambangkan Lingga para Dewa-Dewa, yang diperhyangan. Itulah dikeluarkan semuanya dan disucikan dilautan, serta diiringi oleh orang-orang yang tergabung dalam Desa Adat/Pakraman, semuanya. Dalam pada itu dilakukanlah “Widhiwidana”, suguhan, dan ditujukan kepada Sang Hyang Baruna, guna memohon anugrah, termusnahnya kesengsaraan dunia, dalam segala bentuk penderitaan, dan kecemaran dunia menjadi musnah, lebur didalam lautan. Setelah selesai itu semuanya dilakukan, barulah dikembalikan pratima-pratima itu, dan kemudian ditempatkan (kejejerang) di Bale Agung. Disinilah Pratima-pratima itu diupacarai dan Bhatara-bhatari disuguhi banten datengan, dan banten-banten lainnya. Kemudian setelah selesai, barulah pratima-pratima dikembalikan ke Pelinggih masing-masing.
Apabila hal itu tidak dilakukan demikian dapat menyebabkan kacaunya Desa Pakraman, dimana akan mendapatkan gangguan yang bermacam-macam cara, dan sang Adikala memang berhak memangan orang-orang yang tidak melakukan amal keagamannya masing-masing apa gerangan yang menyebabkan demikian, ialah karena tidak memperhatikan kebenaran/kewajiban menjadi manusia. Itulah yang menyebabkan mereka dianiaya. Apabila hal itu terjadi, niscaya menyusahkan Sang Guru Wisesa, karena hal yang demikian rusaknya kedudukannya sebagai Guru Wisesa. Adapun kerusakan itu berwujud dalam bentuk mrana yang mengganas dari Bhuta Kala. Suatu alamat terhisapnya darah (kekuatan hidup) manusia seluruhnya, dan pencabutan jiwa manusia oleh para abdi Sang Hyang Adikala. Kalau kita bertanya siapakah yang menyebabkan demikian? Jawabnya, ialah bahwa Bhatara Wisnu (yang bersifat memelihara), berubah wujud kedewataanya menjadi kala (waktu pemusnah), Bhatara Brahma (yang bersifat mencipta), akan menciptakan Bhucari desa (mahluk berbisa), Teluh Tranjana (Penyebab kesedihan manusia), dan Bhatara Içwara (bersifat menyempurnakan), akan berwujud penyakit yang meraja lela dan mengerikan. Dan hal yang terakhir inilah yang paling membahayakan, karena dapat menyebabkan dunia basmi bila kehendaknya.
Demikianlah halnya, hai para pendeta anakku karenanya janganlah alpa terhadap hal yang demikian, seperti ajaran-ajaran yang kami utarakan. Kalau hal itu dapat dilaksanakan, maka kembalilah keselamatan dunia, termasuk pula keselamatan serba mahluk. Dengan demikian, menjadi sempurna dan sucilah wibawa dunia ini, sejahtera segala yang masih hidup, menjadi suburlah segala tumbuh-tumbuhan, karena penyebab dari penyakit yang meraja lela itu telah dilebur kembali dalam lautan.
8. Sasih Waisaka
Tersebutlah pada sasih waisaka ( kedasa bulan April ), Tanggal ping 15 ( hari purnama Kadasa ), pada waktu itulah hari penghormatan kepada Sang Hyang çuniamrta ( manifestasi Tuhan dalam sifat menghidupkan ), yang bersemayam di kahyangan sakti, serta disucikan sejak dahulu kala. Pada saat itulah disebut purnama Sada ( inti dari purnama-purnama, sasih yang lain ), karenannya patutlah orang-orang memuja leluhurnya, bertempat di Sanggah kemulan. Kalau di Desa Pekraman, ialah bertempat Sad Kahyangan Sakti ( Tri Kahyangan untuk Desa pakraman, dan Dang kahyangan untuk tingkat yang lebih luas.
Adapun upakaranya, ialah tingkat sederhana :
Suci 1, daksina 1, ajuman, dandanan aprangkat 1, ikannya serba suci, canang wangi-wangi, serta reresik, dan perlengkapannya.
Yang dihaturkan ( palaba ) dibawah, ialah :
Segehan Agung 1, segehan sasah 6, tanding, dan ikannnya bawang jahe, dan Sang purohita yang patut menjalankan, dengan puja sebagaimana mestinya. Sedangkan yang patut dilaksanakan oleh Umat pada umumnya ialah :
Upakara /upacara pamrayascita lwih, panyeneng dan teenan.
9. Purnama dan Tilem :
Dan ada pula hari sesucen terhadap Sang Hyang Rwabhineda, yakni Sang Hyang surya dan Sang Hyang Ratih, itulah yang jatuh pada hari purnama dan hari tilem. Kalau hari purnama, Sang Hyang Wulanlah yang beryoga, demikian pula kalau hari Tilem Sang Hyang Suryalah yang beryoga.
Demikianlah bagi para Sulinggih dan setiap Umat ( yang beragama Hindu ), patutlah melakukan pensucian diri, dengan menghaturkan wangi-wangi, canang biasa, yang disuguhkan kepada para Dewa. Dan oleh karena perbuatan itu dilakukan dalam ciptaan Tuhan, wajarlah bila dilakukan dengan air suci, serta bunga serba yang harum.
BAB. II
PAWUKON
1. Uku Sinta :
Lain dari pada yang itu, ada juga menurut Pawukon, yakni pada Uku Sinta :
a. Coma Ribek :
Coma Pon disebut juga Coma Ribek, hari puja wali Sang Hyang Çri Amrta, tempat bersemayamannya adalah di Lumbung, Pulu, adapun upacara memujanya ialah :
Nyahnyah geti-geti, gringsing, raka pisang mas, disertai denga bunga serba harum.
Pada waktu itu, orang-orang tak diperkenankan menumbuk padi, demikian juga menjual beras, karena kalaupun dilakukan, maka dikutuklah oleh Bhatari Çri, sepatutnya orang memuja Sang Hyang Tri pramana ( bayu, sabda, idep ), serta membatinkan inti sari ajaran Agama ; karenanya pada hari itu, tidak diperkenankan tidur pada siang hari.
b. Sabuh Mas :
Pada Hari Anggara Wage, disebutlah sabuh mas, suatu hari yang disucikan untuk memuja Bhatara Mahadewa, dengan jalan melakukan upacara Agama, terhadap harta benda kakayaan, yaitu :
Manik dan segala manikam ; adapun upakara :
Suci, daksina, peras penyeneng, sesayut yang disebut Amrta sari, canang lenga wangi, burat wangi dan reresik.
Tempat melakukan upacara itu, ialah dibalai piyasan ( dan yang semacam itu). Bagi orang-orang , patutlah melakukan pembersihan diri dan janganlah takabur terhadap kesenangan yang bersifat kebendaan belaka, melainkan ratna mutu manikam yang ada dalam diri pun ( jiwa ), perlu dimuliakan. Demikianlah, setelah selesai menyuguhkan kepada Bhatara-Bhatari bebanten sesayut itu, patutlah diayap untuk diri kita.
c. Pager Wesi :
Pada hari Buda Kliwon ( Sinta ), disebutlah Pager Wesi, saat Sang Hyang Pramesti guru ( Çiwa ) dan diikuti oleh Dewata Nawasanga, yang bertujuan untuk menyelamatkan jiwa segala makhluk hidup yang ditakdirkanNya dialam ini semuanya ; karenanya patutlah para sulinggih memuja cipataan Bhatara Prameswara : Upakara nya, ialah :
Daksina, suci 1, peras panyeneng, sesayut, pancalingga, penek ajuman, serta raka-raka, wangi-wangi, dan perlengkapannya, yang dihaturkan (disuguhkan) di Sanggah kemulan. Adapun bebanten bagi orang-orang ialah :
Sesayut pageh hurip 1, serta prayascita, setelah tengah malam, dilakukan yoga samadi (renungan suci). Dan ada pula sesuguh kepada Panca mahabuta (lima unsur alam) yaitu :
Segehan berwarna, sesuai dengan neptu kelima arah, dan diselenggarakan di natar sanggah, dan disertai dengan segehan agung 1, (sebuah).
2. Tumpek Landep :
Juga pada wara Landep, yaitu hari Caniscara Kliwon, adalah puja wali Bhatara Çiwa, dan hari saat beryoganya Sang Hyang Pasupati Adapun untuk pujawali Bhatara Çiwa, ialah :
Tumpeng putih kuning satu pasang, ikannya ayam sebulu, grih terasi merah, pinang dan sirih, dan banten itu dihaturkan di Sanggah.
Adapun yoganya Sang Hyang Pasupati (Hyang Widhi dalam wujud Raja Alam semesta), ialah :
Sesayut jayeng perang, sesayut kusumayudha, suci, daksina peras, canang wangi-wangi, untuk memuja bertuahnya persenjataan.
Demikian juga menurut ajaran, dalam hubungannya dengan manusia ialah hal itu untuk menjadikan tajamnya pikiran ; karena hal yang demikian patut dilaksanakan dengan puja mantra sakti pasupati.
……………………..
3. Wuku Ukir :
Wuku Ukir, yakni pada Redite Umanis, adalah hari untuk melakukan pujaan kepada Bhatara Guru, adapun upakara bebantennya, ialah :
Pengambean, 1, sedah ingapon 25 ( sirih dikapuri ), kwangen 8 buah, bebanten mana semuanya itu dihaturkan si sanggar kemulan, namun dapat juga ditambahkan dengan pelaksanaan upakara sedemikian rupa menurut kemampuan ; demikianlah patutnya orang, dalam memuja Bhatara Guru, yang dipuja di sanggar kemulan.
4. Kulantir :
Uku Kulantir, yakni pada Anggara Keliwon adalah hari unuk memuja Bhatara mahadewa ; dengan Upakara serba berwarna kuning yakni :
Punjung kuning satu pangkon, ikannya ayam putih siungan di betutu, sedah woh (sirih dan pinag), yang berisi kapur, dan bebanten-bebanten itu dihaturkan disanggar.
5. Uku Wariga :
Uku wariga, yakni hari Saniscara keliwon, disebutlah hari Panguduh, suatu hari untuk memuja kepada Sang Hyang sangkara, sebab beliaulah yang menyebabkan menjadinya segala tumbuh-tumbuhan termasuk kayu-kayuan. Adapun upakaranya ialah :
Peras, tulung, sesayut, tumpeng bubur dan tumpeng Agung dengan ikan babi, atau itik diguling. Baik pula disertai dengan raka-raka, penyeneng, tetebus, dan sesayut cakragni. Adapun bebanten tersebut diatas, ialah mendoakan semoga atas rahmat Hyang Widhi maka segala tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh subur bersusun-susun dan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia dalam menentramkan hati, serta sejahteranya hubungan lahir bathin.
6. Warigadian :
Pada wuku warigadian, yakni pada hari coma pon, ialah hari untuk penghormatan kepada Bhatara Brahma, dengan mempergunakan bebanten sbb :
Sedah woh selengkapnya, dan menurut kemampuan, banten mana dihaturkan di Paibon, serta menghaturkan bunga harum, sebagai biasanya dilakukan.
7. Sungsang :
Uku Sungsang, yakni pada hari Wraspati wage, disebutlah hari Pararebon. Juga disebut hari Sugihan Jawa. Adapun hari tersebut, ialah untuk melaksanakan prayascita ( pensucian ), para Bhatara-Bhatara semuanya, yang disemayamkan di Prahyangan . Maka pada hari itu, dilakukanlah upacara pensucian Bhatara-Bhatara, kemudian dari pada itu dilanjutkan dengan upacara menghaturkan puspa harum. Lain dari pada itu, bagi orang yang membathinkan inti hakekat samadhi (meditasi), maka seyogyanyalah melaksanakan Yoga (renungan suci), sedangkan bagi para wiku (pedanda, Rsi, Empu, dsb), seyogyanya pula melakukan puja stuti, sebab pada hari itu para Bhatara turun kedunia disertai para Dewa pitara, untuk menikmati upacara pesucian, berlangsung sampai pada hari itu galungan. Oleh karena itu orang-ornag hendaknya melaksanakan upacara agama, dengan natab banten sesayut dan banten tutuan, yakni banten yang bersimbul penarik kebahagiaan lahir bathin, demikian patut dilaksanakan.
8. Dungulan :
a. Uku Dungulan, yakni pada hari Redite paing, disebutkan bahwa Sang Hyang Tiga Wisesa turun kedunia, dalam wujud kala, dan disebut Sang Bhuta Galungan, yang ingin memakan san minum didunia ini, oleh karena itu, orang-orang suci, demikian pula para sujana (bijaksana), hendaknya waspada serta mengekang / membatasi dirinya kemudian memusatkan pikirannya kearah kesucian, agar tiada kemasukan oleh sifat-sifat yang membahayakan dari pengaruh-pengaruh Sang Bhuta Galungan, dan hal yang demikian, disebutlah hari penyekeban.
b. Pada hari coma pon, adalah hari untuk melakukan yoga samadhi, dengan memusatkan pikiran untuk menunggalnya dengan para Bhatara-Bhatara. Itulah sebabnya, mengapa pada hari itu disebut :
Penyajaan oleh dunia ( Hindu ).
c. Pada hari Anggara Wage, disebutlah hari penampahan, Pada hari itulah waktunya Sang Bhuta Galungan memangan. Oleh karena itu, patutlah dilakukan penyelenggaraan hidangan oleh desa Adat, dengan korban caru kepada Bhuta –Bhuta, bertempat diperempatan Desa adat, adapun korban yang diberikan kepada Bhuta-Bhuta, bentuknya bermacam-macam, yakni dari bentuk yang sederhana, sedang, dan besar. Dan yang patut memuja, ialah para Sulinggih , unuk memohonkan kepada Hyang . Yang dimaksud Sulinggih, yakni : Pedanda Cwa Budha, karena beliaulah yang mempunyai wewenang dalam hal ini. (termasuk juga dalam golongan Sulinggih, yakni Pemangku).
Lain dari pada itu, segala senjata perang, patutlah semuanya itu diupacarai, dengan upacara pensucian oleh para Sulinggih. Tambahan pula bagi orang-orang kebanyakan ( Umat Hindu bersangkutan ), upacara-upacara tsb, bermanfaat untuk mendapat pahala kekuatan utama dalam perjuangan hidup yang patut disuguhkan di masing-masing pekarangan rumah ialah :
Segehan warna, 3. ditaburkan menurut neptu, yakni : putih, 5. hitam, 4. bang, 9. ikannya olahan babi, tetabuhan, disertai segehan Agung, 1. Adapun tempat melakukan caru, ialah di natah pekarangan rumah, di sanggah, dan dimuka pekarangan rumah, yang dihayat pada waktu menjalankan caru itu, ialah Sang Bhuta Galungan. Sedang yang patut dihayapkan oleh anggota keluarga, ialah banten pabyakala, prayascita, dan sesayut, untuk mendapat kesuksesan dalam perjuangan hidup, sekala niskala (lahir-batin).
d. Disebut Buda keliwon galungan, keterangannya, ialah, bahwa untuk memusatkan pikiran yang suci bersih, disertai dengan menghaturkan upacara persembahan kepada para Dewa-Dewa, di Sanggar parhyangan, tempat tidur, pekarangan, lumbung, dapur, dimuka karang perumahan, tugu, tumbal, pangulun Setra, pangulun Desa, pangulun sawah, hutan munduk, lautan, sampai pada perlengkapan rumah, semuanya itu diadakan persajian, dengan suguhan yang dilakukan di sanggar parhyangan, menurut besar kecilnya sbb :
Tumpeng payas, wangi-wangi, sesucen (pembersihan ), itulah yang disuguhkan di Sanggar. Adapun banten dibalai-balai, ialah : tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan, sodaan, dan perlengkapannya. Sedangkan ikannya, ilah jejatah babi, serta asap dupa harum. Setelah selesai itu semuanya diupacarakan, maka biarkanlah semalam, banten itu semuanya jejerang, sampai besoknya pagi-pagi.
9. Kuningna :
a. Pada redite wage, disebut pemaridan guru, pada hakekatnya ialah saat kembalinya para Dewata-Dewata semuanya, menuju kahyangan, jelasnya, bahwa para Dewata-Dewata pergi, dengan meninggalkan kesejahteraan panjang umur. Maka upacaranya :
ialah :
Menghaturkan ketipat banjotan, canang raka-raka, wangi-wangi, serta menikmati tirtha pebersihan.
b. Pada coma keliwon, disebutlah Pamacekan Agung. Pada sore harinya, patut melakukan segehan Agung dimuka halaman karang perumahan, dan memakai sambleh ayam semalulung yang disuguhkan kepada sang Bhuta Galungan dan para abdinya agar pergi.
c. Buda paing kuningan ialah hari pemujaan Bhatara Wisnu, maka upacaranya ialah:
Sirih dikapuri, putih, hijau, dan pinang, 26, disertai tumpeng hitam serta runtutannya. Menurut kemampuan, dan dihaturkan kepada Bhatara di paibon, dan disertai pula bunga-bunga harum sebagaimana mestinya.
d. Pada hari saniscara kliwon kuningan, turunlah lagi para Dewata sekalian, serta sang dewa pitara (leluhur) untuk melakukan pensucian, lalu menikmati upacara bebanten, yakni :
Sege dan selanggi, tebog, serta raka-raka selengkapnya, pebersihan, canang wangi-wangi dan runtutannya, dan menggantungkan sawen tamiang dan gegantungan caniga, sampai pada tempat / kandang segala binatang ternak. Janganlah menghaturkan bebanten setelah lewat tengah hari, melainkan seyogyanyalah pada hari masih pagi-pagi, sebab kalau pada tengah hari, Dewa-Dewa telah kembali ke sorga.
Lain dari pada itu, yang patut dipakai mendoakan manusia :
Sesayut prayascita luwih, yaitu segejenar, ikannya itik putih, panyeneng, tetebus, yang gunanya untuk mohon kesucian pikiran, yang suci bersih, dan tidak putus-putusnya melakukan semadhi, juga diletakkan pasegehan di natar, yakni segehan Agung, 1.
10. Pahang :
Pada Hari Buda keliwon, disebut pegatwakan dan penjelasannya adalah, bahwa pada hari itu titik selesainya memusatkan renungan ngekeb pikiran bersemadhi, dalam hubungannya, bahwa sang wiku dan para orang-orang sekalian patut membathinkan renungan suci, mempersatukan ciptannya untuk mendapatkan kesadaran, dari mana asalnya kita pada mulanya, renungn mana disertai dengan upakara serba suci :
Wangi-wangi dan sesayut dirghayusa, dihaturkan kehadapan Hyang widhi Tunggal, upakara mana dilengkapi dengan penyeneng dan tetebus.
11. Merakih :
Sukra Umanis, adalah hari pemujaan Bhatara Rambut Sedana, dan beliau juga disebut Sang Hyang Rambut Kaphala, adapun upacara bebantennya :
Suci, daksina, pras, penek, ajuman, sodha putih kuning, dihaturkan kepada Sang Hyang rambut Sedana, keterangannya, ialah memuja melalui pralingga beliau, yang berujud perak, mas, wang, namun ditujukan kepada Sang Hyang Kamajaya (manifestasi Hyang Widhi yang memberi kenikmatan hidup).
12. Uye :
Uku Uye, yakni pada hari Saniscara keliwon, disebut Tumpek Kandang, hari pelaksanaan upacara kepada binatang-binatang, seperti binatang sembelihan / ternak, kalau untuk sapi, kerbau, gajah, dan sebagainya, upacara yang diberikan, adalah sebagai berikut :
Tumpeng, tebasan, paresikan, panyeneng, dan jerimpen.
Kalau unuk bawi :
Tumpeng, penyeneng, canang raka, –
Kalau untuk bawi betina :
Ketipat bekok, belayag bersama dengan segaaon.
Kalau untuk sebangsa burung, ayam, itik, angsa, kwir, perkutut, dan sebangsanya :
Ketipat sesuai dengan bentuknya, kalau untuk burung, ketipat paksi, kalau untuk ayam ; ketipat ayam, disertai dengan panyeneng, tetebus dan bunga-bungaan.
Keterangannya, ialah bahwa upacara itu, seperti mengupacarai manusia, dengan mengambil bentuk utamanya pada binatang, seperti burung, ikan, karena badan itulah umpama binatang, sedangkan jiwanya adalah Sang Hyang Rareangon ( Çiwa ).
13. Wayang :
Secara keseluruhan pada hari itu, adalah saat bertemunya Sang Wayang dengan Sang Sinta. Disebutlah bahwa wuku itu cemar, sehingga tidak dibenarkan kalau melakukan pensucian, berhias-hias, demikian juga bersisir, terutama pada hari Sukranya, karena berakibat ternodanya nilai diri.
a. Pada hari Sukra Wage, dinamai hari kala paksa, ( Ala paksa), yakni waktu karogan namanya. Oleh karena itu orang-orang sewajarnyalah melakukan pembatasan, (secara simbolis), dengan menggoreskan kapur, tepat pada dadanya (tapak dara). Dan mesesuwuk (menempatkan suatu tanda) dengan daun pandan berduri, bertempat dibawah dipan tempat tidur, (juga diruangan pintu). Pada esok paginya, semua sesuwuk pandan tsb, dikumpulkan dan bertempat pada sebuha nyiru ( sidi ), disertai segehan lalu buanglah didengen, yakni dimuka halaman keluar pekarangan. Dalam pada itu, perlu disertai ucapan dalam pembuangannya dengan sesapa yang bermaksud membuang kecemaran-kecemaran.
b. Menjelang hari Saniscara keliwon, adalah hari pemujaan pada Dewa Iswara, dengan prantara mengupacarai segala kesenian (baik yang bersifat sakral,maupun yang bersifat propan), yaitu : gong, gender, dan segala unen-unen lainnya. Adapaun bebanten untuk itu, ialah :
Suci, pras, ajengan, ikannya itik putih, sedah woh. Canang raka, dan pasucen selengkapnya.
Sedangkan widhiwidhana untuk manusia yang diibaratkan sebagai wayangnya Hyang Suksma, perlu diadakan pangastiti terhadap diri pribadinya, yakni :
Sesayut tumpeng Agung, 1, dan penyeneng.
Sebab badan kita itu, juga ibarat wayang, dan Sang Hyang Iswara ibarat dalang. Adapun pelaksanaannya, itulah ibarat gerak gerik dalam lakonnya. Jadi tidaklah berkenan ia dijadikan pengantar yadnya (apabila) tiada dilakukan pemujaan. Maka janganlah hendaknya orang tidak mau melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Iswara atau Sang Hyang Triwiradnyana (yang menjadi sumber gerak, kata-kata, dan pikiran). Jika dilanggar nerakalah jiwanya.
14. Watugunung :
Saniscara Umanis, adalah hari pujawali Bhatara Saraswati adapun upacaranya :
Suci, peras, daksina palinggih, kembang payas, kembang cane dan kembang biasa, sesayut saraswati, prangkatan )rantasan) putih kuning, serta raka-raka tidak terkecuali dengan runtutannya, Sang Hyang pustaka (Lontar-lontar keagamaan), tempat menuliskan Aksara, itulah yang patut diatur yang sebaik-baiknya, dipuja, dan diupacarai dengan puspa wangi : inilah yang disebut memuja Sang Hyang Bayu (gerak, kata-kata dan pikiran).
Pada umumnya waktu keadaan yang demikian (dalam memuja dengan bebanten), tidak wajar menulis surat, tak wajar membaca buku-buku weda, dan kidung kekawin, melakukan kewajarannya ialah melakukan yoga.
Komentar :
Saat melakukan yoga samadhi, bayu, sabda idep dipusatkan semuanya secara meditasi, maka itu tidak melakukan bacaan-bacaan/menulis. Setelah saat-saat tsb, dalam rangka merayakan memeriahkan, pada nantinya tidak merupakan halangan mengadakan pembacaan-pembacaan dengan tujuan yang baik, antara lain memperdalam dan menghayati intisarinya.
15. SINTA
Pada hari Redite paing pagi-pagi, disebut Banyupinaruh, saat melakukan penyucian , yakni membersihkan diri kebeji (permandian), kemudian mensucikan diri dengan mempercikan air kumkuman. Kemudian lanjutkan dengan menghaturkan lelabaan pada Bhatara-Bhatara di Sanggar masing-masing yaitu:
Sege/punjung pradnyan jenar (gading), dan jejamu serba harum, yang dihayap oleh masing-masing.
16. PANCAWARA KLIWON
Dan pada hari Pancawara, yakni setiap datangnya hari Kliwon, adalah saat beryoganya Bhatara Çiwa, sepatutnya pada saat yang demikian, melakukan pensucian dengan menghaturkan wangi-wangi bertempat di Merajan, dan diatas tempat tidur, sedangkan yang patut disuguhkan dihalaman rumah, halaman Merajan dan pintu keluar masuk pekarangan rumah, ialah segehan kepel dua kepel menjadi satu tanding, dan setiap tempat tersebut diatas, disuguhkan tiga tanding yakni :
a. dihalaman Sanggar, kepada Sang Bhuta Bhucari
b. di Dengen, kepada Sang Durgha Bhucari
c. untuk dihalaman rumah, kepada Sang Kala Bhucari
adapun maksud memberikan laba setiap hari Kliwon, ialah untuk menjaga, agar pekarangan serta keluarga semuanya mendapat perlindungan dan menjadi sempurna.
17. BYAHTARA KLIWON :
Lain lagi, pada hari Kajeng Kliwon, pelaksanaan Widhi Widhananya, seperti halnya pada hari kliwon juga, hanya tambahannnya dengan segehan warna limang tanding. Yang disuguhkan pada samping kori sebelah atasnya, ialah :
Canang wangi-wangi, burat wangi, canang yasa, dna yang dipuja ialah Hyang Durghadewi.
Yang disuguhkan dibawahnya (segehan seperti tersebut diatas), untuk Sang Dhurga Bhucari, Kala Bhucari, Bhuta Bhucari, yang maksudnya berkenan memberikan keselamatan kepada penghuni rumah. Sebab kalau tidak dilakukan demikian, maka Sang Kala Tiga Bhucari akan memohon lelugrahan kepada Bhatara Durgha Dewi, untuk merusak penghuni rumah, dengan jalan mengadakan gering/penyakit dan mengundang para blek megik (pengiwa-pengiwa), segala merana-merana, mengadakan pemalsuan-pemalsuan, yang merajalela dirumah-rumah, yang mana mengakibatkan perginya para Dewata semuanya, dan akan memberi kesempatan para penghuni rumah disantap oleh Sang Hyang Kala ber-sama-sama dengan abdi Bhatara Durgha. Demikianlah maka sadarlah, dan jangan menentang pada petunjuk kami.
18. SAPTAWARA + PANCAWARA
Adalah lain lagi, harapan kami kepada anda sekalian, maka perhatikanlah, Sahdan pada hari Anggara Kasih, keterangannya, adalah suatu saat untuk mewujudkan cinta kasih terhadap dirinya. Maka pada hari tersebut, sepatutnyalah untuk peleburan bencana, dan meraut dari diri segala kecemaran, terutama kecemaran pikiran yang melekat pada diri. Caranya, ialah dengan jalan renungan suci. Sebab dalam keadaan yang demikian, saat Hyang Ludra melakukan yoga, yang bertujuan memusnahkan kecemaran dunia. Maka pelaksanaan widiwidananya, ialah menghaturkan wangi-wangi, dupa astangi, dan lanjut matirtha pembersihan.
19. BUDHA KLIWON
Buda Klion, saat Pensucian Sang Hyang, yakni ngastuti Hyang Nirmala, Jati dan Widhiwidananya :
Canang yasa, dan wnagi-wangi, menghaturkan kembang payas pada atas tempat tidur, dan di sanggar.
Tata pelaksanaan itu, dengan memuja untuk keselamatan Trimandala, yakni : yang pertamanya ialah keselamatan badan sendiri, yang kedua ialah sanak keluarga seketurunan dan yang ketiga, ialah keselamatan Negara.
20. BUDHA WAGE
Budha Wage, Budha cemeng namanya, keterangannya ialah, mewujudkan inti hakekat kesucian pailiran, yakni putusnya sifat-sifat kenafsuan, itulah yoga dari Bhatari dari Manik galih, dengan jalan menurunkan Sang Hyang Omkara amrta ( inti hakekat kehidupan ), diluar ruang lingkup dunia skala.
Maka patut melakukakan widhiwidana dengan :
Wangi-wangi, memuja disanggar dan diatas tempat tidur serta menghaturkan kepada Sang Hyang Çri, lalu melakukan renungan suci pada malam harinya.
21. SANISCARA KLIWON :
Hari Saniscara Kliwon, disebutkan hari puncak rahmat yang diberikan kepada manusia, karenanya janganlah lupa memuja Sang Hyang maha Wisesa (Tuhan Yang Maha Esa), janganlah menjauhkan diri, terlebih-lebih janganlah memisahkan diri, sebab hari itu adalah turunnya sukreta dari Sang Hyang Anta Wisesa (Tuhan Yang dalam manifestasinya memberikan rahmat kehidupan terus menerus ) kepada dunia semuanya. Adapun cara memujanya, adalah sebagai biasa, yakni :
Pada malam hari, tidak pantas mengambil kerja (jasmaniah), melainkan berdiam dirilah, sambil mengheningkan cipta sesuci-sucinya, dan memusatkan perhatian kepada Sang Hyang Dharma, serta kesadaran jiwa menyeluruh, teringat adanya.
Janganlah orang yang telah menyadari falsafah ini tidak meyakini dan sampai-sampai menentang kebenaran ini, sebab menyebabkan tidak mencapai keselamatan dalam segala tindakannya. Mengapa demikian, ialah karena orang demikian, tidak melakukan kebenaran, sehingga dapat disamakan dengan binatang, hanya perbedaannya ( pada orang demikian ), memakan nasi, kalau orang-orang suci ( wiku ), tidak menuruti keyakinan itu, maka bukanlah wiku, sebagai titisan Sang Hyang Dharma.
22. CANDRA GRAHANA :
Disebutkan lagi, yakni pada saat datangnya bulan gerhana, cahaya bulan diterkam oleh Rawu, demikianlah ceritanya, karenanya disebutkan prawesa ( tenggelam ) karena bertemunya Sanghyang Surya. Dalam keadaan yang demikian, sepatutnyalah para rohaniawan semuanya melakukan pujaan seperlunya, yakni upacara bulan kepaangan, dengan maksud kesempurnaan kembali Sang Hyang Wulan, serta bebantennya :
Canang wangi-wangi dan raka-raka, dan bubur biaung serta penek putih kuning secukupnya dan puspa wangi.
Penjelasan pelaksanannya sbb :
Diluar orang-orang yang membathinkan kesucian, melakukan renugan suci dengan membacakan isi buku-buku keagamaan dan ceritra-ceritra suci, lain dari pada itu, bertempat di halaman rumah, patut dilakukan pujaan kepada Sang Hyang Surya Candra. Setelah itu sebulan lamanya, akibat terlibatnya Sang Hyang candra, maka tidak diberikan kepada mereka melakukan kerja agama angayu-ayu memuja para Dewa, Bhuta, Pitara, singkatnya segala karya tak boleh.
23. SURYA GRAHANA :
Pada waktu Surya Graha keterangannnya ialah Sang Hyang Surya berwujud mrtha, karenanya dipangan oleh Sang Kala Rawu, Oleh karenanya, Hyang Paramawisesa melibatkan dunia terkena pengaruh kecemaran, setahun lamanya tidak diperkenankan melakukan segala yadnya angayu-ayu.
Adapun tata cara pelaksanaannya sama juga dengan pelaksanaan Candra Graha. Demikianlah.
24. PURNAMA KAPAT :
Inilah lagi suatu ucapan dari Çundarigama, yang boleh dipakai oleh Catur Warna, yakni : Brahma, Ksatrya, Wesya, Sudra supaya dapat mencapai keselamatan seluruh kawitannya seperti sedia kala, sebagai berikut :
Pada waktu Purnama kapat, itulah saat beryoganya Sang Hyang Çiwa, dan para Dewata semuanya. Maka para pendeta patut melakukan pamujaan memasang / memakai busana kependitaan sebagai mana msetinya, serta melakukan tata cara Candra Sewana, demikian pula melakukan sembahyang dengan menghaturkan Tarpana kehadapan Kawitan, bebantennya :
Canang genten, lenge wangi, burat wangi, dan pebersihan sedapat-dapatnya.
Adapun kehadapan Sang Hyang Wulan, menghaturkan :
Tumpeng kuning, ikannya ayam putih siungan, dan prayascita lwih, lengkap dengan pebersihan.
Sedangkan para pelindung (pamong-pamong ), serta para cendakiawan semuanya, pada malam harinya, patutlah memohon kehadapan Hyang Widhi, untuk mana kita dianugrahi keselamatan, kepada Ratu Dalem, patut melakukan sembahan :
Canang lenge wangi dan canang genten.
Kepada Bhatara kawitan di Sanggar, menghaturkan bebanten sedapat-dapatnya, demikian juga diatas tempat tidur, yakni :
Banten dedari satu dulang, yang bertujuan untuk melebur segala kecemaran –kecemaran dan halangan-halangan pada diri.
25. TILEM KEWULU.
Pada Sasih Kewulu itulah dunia disebut kemasukan Bhuta Kala, karenanya orang yang melaksanakan Agama semuanya patut bersucikan pikiran, supaya dunia tidak kekosongan. Ketika tilem Kewulu itu, umat Agama (Hindu) semuanya memuja Sang Hyang, dengan bebanten :
Sesayut ketipat sirikan, menurut neptu hari, ikannya palem udang, sayur talas, daun cabai bun, dun gamongan, daun kencur, kacang ijo, semuanya diurab, serta daun / putik daun dap-dap, (delundung) juga menurut neptu hari, sambal gente, untu-untu juga disertai jagung, talas, tebu, semuanya direbus, raka-raka, woh-wohan, buni, sentul, salak, serta tetebus tadah pawitra.
BAB. III
RANGKUMAN.
Untuk memudahkan melihat hari-hari yang patut untuk melaksanakan Widhi Widhana sebagaimana yang diutarakan, dibawah ini dibuat rangkuman sesingkat mungkin sbb, :
1. PURNAMA KAPAT :
BEBANTEN 2
a). Kepada Bhatara kawitan : Tarpana sarwa pawitan.
b). Kepada Sang Hyang Wulan, dipelinggih di Sanggar :
penek kuning, ikannya ayam putih siungan, prayascita lwih, reresik.
c). Kepada Bhuta Kala, dinatar Sanggar, segehan agung sebuah.
d). Malam harinya melakukan renungan suci.
2. TILEM KAPAT :
Mugpug/memusnahkan kecemaran-kecemaran diri.
BEBANTEN 2
a). Kepada bhatara di parhyangan : wangi-wangi dan runtutannya.
b). Diatas tempat tidur kepada Hyang Widyadari : wangi-wangi dan sesayut widyadari.
3. PRAWANINING TILEM KEPITU PANAKLUK MRANA :
BEBANTEN 2.
a). Di tepi laut dan semacam itu :
4. TILEM KAWULU RESI GANA :
a). Di parhyangan wangi-wangi sesayut ketipat sirikan, ikannya palem udang, menurut neptu hari, sayur-sayuran dan buah-buahan, serta tetebus tadah pawitra.
5. SASIH KESANGA SESUCEN DEWATA KABEH :
A. Panglong ping 13 Melasti.
a). Kepada Hyang Baruna ditepi laut (dan semacamnya) : sodaan, rarapan, pasucian selengkapnya, dan samleh ayam hitam.
b). Pratima ditempatkan dipahyasan (bale agung) laksanakan banten datengan dan runtutannya.
B. Panglong ping 14 Ambhuta Yadnya.
a). Untuk rumah tangga, pekarangan, segehan manca warna 9 tanding, ikannya ayam brumbun yang diolah.
Segehan Agung sebuah, dan segehan sasah 108 tanding.
Tempat upacara, dimuka pintu pekarangan keluar masuk rumah. Yang dihayat : Bhuta raja, kala raja, bhuta Kala, Kala Bala. Senja hari mgerupuk, serana semburkan meswi dan obor.
b). untuk penghuni keluarga.
Sesayut pamyakala, sesayut lara malaradan, prayascita.
C. TILEM KESANGA.
Anyepi. Amati geni, renungan suci.
6. PURNAMA KEDASA :
Pujawali Hyang Sunia Amerta.
BEBANTEN 2.
a). Di Parhyangan.
Suci 1, daksina 1, ajuman adandanan, rayunan aparangkat 1, ikannya serba suci, wangi-wangi, reresik.
b). Dinatar / sor.
Segehan Agung 1, segehan sasah 6, ikannya bawang jahe.
c). Untuk manusia.
Prayascita lwih, panyeneng teenan.
7. SETIAP HARI TILEM HYANG SURYA BERYOGA/SETIAP HARI PURNAMA,
SANG HYANG CANDRA BERYOGA.
BEBANTEN 2.
a). Di Parhyangan.
Wangi-wangi, canang biasa.
b). untuk diri, mohon serta pensucian.
8. UKU SINTA.
A. COMA RIBEK. Sesucen Hyang Çriamrta.
BEBANTEN-BEBANTEN
a). Di Pulu, lumbung, dsb.
Nyah-nyah, geti-geti, grinsing, raka pisang mas, wangi-wangi.
13. SABUH MAS (SELASA), sesucen Hyang Mahadewa.
BEBANTEN-BEBANTEN
a) Untuk harta benda dsb. : Suci 1, daksina 1, peras penyeneng, sesayut sari, canang lenga wangi, burat wangi, reresik.
b) Tempat di Piasan, setelah selesai menghayat, lalu diri masing-masing mohon tirtha.
C. PAGERWESI (BUDHA KLIWON) YOGAN HYANG PRAMESTI GURU
BEBANTEN-BEBANTEN
a) Di Sanggah Kemulan : daksina, suci, pras, penyeneng, sesayut, pancalingga, penek ajunan, rake-rake, wangi-wangi.
b) Untuk diri : sesayut pageh urip, prayascita, dan pada malam harinya melakukan renungan suci
c) Untuk panca Bhuta : segehan warna, anut uripin panca desa, (lima arah) tempatnya di natar Sanggah, ditambah sebuah segehan Agung.
9. UKUN LANDEP SANISCARA KLIWON
Pujawali Bhatara Çiwa dan yoga dari Hyang Pasupati
BEBANTEN-BEBANTEN
a) Kepada Hyang Çiwa : tumpeng putih kuning adandanan, ikannnya menurut kemampuan, grih trasi bang, sedan woh 28, tempatnya di Sanggar.
b) Kepada Hyang Pasupati : sesayut jayeng prang, sesayut kesuma yuda, suci, daksina, pras, canang wangi-wangi, reresik dihayatkan kepada senjata-senjata tajam, dan memuja Hyang Pasupati.
10. UKIR REDITE UMANIS
Pujawali Bhatara Guru
BEBANTEN-BEBANTEN
a) Kepada Bhatara Guru, pengambean, sedah ingapon 25, kwangen 8, tempatnya di Sanggah Kemulan.
11. KULANTIR ANGARA KASIH
Pujawali Bhatara Mahadewa
BEBANTEN-BEBANTEN
a) Kepada Bhatara Mahadewa : segehan kuning sepangkon, ikannya ayam putih siungan betutu, sedah woh 22, ingapon. Tempat di Sanggar.
12. WARIGA SANISCARA KLIWON
Pujawali Sang Hyang Sangkara
BEBANTEN-BEBANTEN
a) Diayatkan untuk tumbuh-tumbuhan, pras, tulung, sesayut, tumpeng bubur, tumpeng agung, ikannya guling babi, (boleh itik), raka-raka, penyeneng, tetebus, sesayut cakragni.
13. WARIGADEAN COMA PAING
Pujawali Bhatara Brahma
BEBANTEN-BEBANTEN
a) Untuk Hyang di Sanggar : sedah woh, selengkapnya, puspa wangi dan runtutannya. Tempat di Paibon.
14. SUNGSUNG WRASPATI WAGE
Patirtan Bhatara di Sanggah
BEBANTEN-BEBANTEN
a) Kepada Bhatara-bhatara di Sanggar
Banten rerebon jangkep, reresik, wangi-wangi
b) Untuk keluarga : sesayut 1, dan tutwan
c) Bagi rohaniawan : malamnya mengadakan renungan suci
15. DUNGULAN
Pujawali Hyang Tiga Wisesa
BEBANTEN-BEBANTEN
a) Redite Paing : pangekeban, melakukan renungan suci
b) Coma pon : Penyajaan, melakukan renungan suci.
c) Anggara Wage : Penempahan caru dirumah tangga.
Dinatar = segehan warna tiga, berjejer, ikannya olah-olahan, segehan Agung 1,
Dinatar sanggar = segehan warna tiga, berjejer, ikannya olah-olahan, yang dihayat : Sang Bhuta Galungan.
d) Budha kliwon Galungan.
Bebanten disanggar. Tumpeng payas, wangi-wangi, sesucen.
Bebanten di balai-balai :
Tumpeng pengambian, jrimpen pajegan, sodan, ikannya jejatah babi gorengan.
Lain dari pada itu disemua bangun-bangunan, juga dilaksanakan penghayatan dengan bebanten seperlunya,
e) Wraspati Umanis Galungan.
Persiapan-persiapan : Pagi menÇri air kumkuman.
Banten di sanggar : wangi-wangi, asep, dupa, mohon tirta pakuluhnya ring Galungan.
Banten di natar Sanggah : segehan sekedarnya.
16. KUNINGAN
BEBANTEN 2,
a) Redite Wage / Pemaridan Guru.
Ketipat banjotan, canang raka, wangi-wangi, tirta pabersihan. Tempatnya Sanggah kemulan.
b) Budha Paing.
Pujawalin Bhatara Wisnu.
Sedah ingapon, putih hijau, pinang 26, tumpeng (nasi) hitam, dan runtutannya seberapa mampu membuat.
Tempat memuja di paibon.
c) Sukra Wage.
Hanya penting melakukan renuangan suci.
d) Saniscara kliwon.
Tumpek kuningan.
Di Sanggah : sega selanggi, tebog, raka-raka, pasucian. (tamyang, caniga, paa pembangunan).
Untuk manusia : sesayut prayascita lwih, punjung kuning, ikannnya itik putih, penyeneng, tetebus.
Untuk dinatar pekarangan : segehan Agung sebagai biasa. Menghayat hanya dilakukan sebelum Jam 12 siang.
17. PAANG PEGAT WAKAN.
BEBANTEN 2.
Wangi-wangi dan pasucen.
Tempatmnya di parhyangan-parhyangan.
18. MERAKIH PUJAWALIN BHATARA RAMBUT SEDANA.
BEBANTEN
a) Sukra Umanis : Suci, daksina, pras penek ajuman, soda putih kuning. Memuja Hyang kamajaya.
Tempatnya : dimana menyimpan harta kekayaan.
19. UYE / TUMPEK KANDANG.
Mengupakarai binatang ternak.
BEBANTEN 2.
Banten disanggar : suci, peras, daksina, panyeneng, canang lenga wangi,. Burat wangi, pasicen, yang dihayat Sanghyang Rareangon.
Banten untuk ternak jantan.
Tumpeng, sesayut 1, panyeneng, reresik, Jrimpen, canang raka.
Banten untuk ternak betina.
Seperti juga ternak jantan hanya ditambah ketipat belekok blayag, pesor.
Banten bagi ternak bangsa burung.
Ketipat paksi, ketipat sidha purna, bagia, penyeneng, tetebus kembang payas.
20. WAYANG.
BEBANTEN 2.
a) Sukra Wage, kalapasa : sasuwuk dengan daun pandan berisi kapur, segehan, asep, (api takep).
b) Saniscara Kliwon Tumpek Wayang : pujawalin Bhatara Iswara, untuk unen-unen. Suci, peras, ajengan, ikannya itik putih sedah woh, canang raka, pasucen.
Untuk manusia : sesayut tumpeng Agung 1, prayascita, panyeneng.
21. WATUGUNUNG.
BEBANTEN 2.
a) Saniscara Umanis Pujawalin Bhatara Saraswati.
Suci, peras, daksina, pelinggih, kembang payas, kembang cane, kembang biasa, sesayut saraswati, prangkatan putih kuning, raka-raka, wangi-wangi, tempat menghayat : Lontar-lontar dan lain-lain.
b) Redite paing Sinta : Banyu Pinaruh
Bebanten 2
Di Sanggar, sege (punjung nasi pradungan kuning), jejamu serba harum mohon tirtan pensucian.
22. PANCA WARA KLIWON YOGYANYA BHATARA ÇIWA
BEBANTEN 2.
a) Pada pelinggih di Merajan wangi wangi, asep dupa harum.
b) Pada natar Sanggah untuk Sang Bhuta Bhucari segehan kepel 2 kepel, menjadi satu tanding dihaturkan 3 tanding.
c) Pada natar pekarangan untuk Sang Kala Bhucari sama dengan dinatar Sanggah
d) De Dengen, antuk Sang Durga Bucari sama dengan di natar Sanggah dan pekarangan rumah.
23. KAJENG KLIWON.
BEBANTEN 2.
a) Sama dengan hari kliwon.
b) Yang di Dengen bertambah segehan warna lima tanding, dan tabuh.
c) Disamping lawang diatas, banten canang wangi, burat wangi, canang yasa, hayat Sang Hyang Dhurgadewi.
Ditulis dalam Pustaka/Lontar

Purnama

Rerahinan Tilem dirayakan ketika bulan mati, maksudnya gelap ( tidak ada sinar bulan di langit ). Kegelapan pada hari Tilem ini, justru bernuansa religius. Ditinjau dari pengetahuan Astronomi Bahwa pada bulan tilem itu posisi bulan berada diantara Matahari dengan Bumi sehingga suasana menjadi gelap gulita dimalam hari.
Hari suci tilem sebenarnya sudah dirayakan oleh nenek moyang kita sebelum pengaruh Hindu datang ke Indonesia, dari sumber-sumber yang dapat dipercaya Bahwa hari suci tilem erat kaitannya dengan keberadaan Dinasty Chandra. Dynasty Chandra menganggap Bahwa leluhurnya dahulu adalah berasal dari keturunan suci, yang diturunkan ke bumi sebagai Dewa Chandra atau Dewa Bulan. Sakti atau istri dari Dewa Chandra adalah Dewi Soma, Dewa Chandra dan Dewi Soma inilah yang kemudian menurunkan Wangsa Chandra. Dalam kurun waktu yang berabad-abad keturunan Wangsa dari Dinasty Chandra muncul kepercayaan bahwa Bulan Tilem adalah sebagai hari suci Wangsa tersebut. Kepercayaan ini kemudian dipercaya oleh Umat Hindu di Nusantara ini sebagai hari sucinya.
Pada waktu hari suci tilem umat Hindu berusaha mendekatkan diri kehadapan Brahman / Ida Sang Hyang Widhi Wasa , dengan melakukan persembahyangan berupa canang sari. Maksud dan tujuannya adalah dalam memuja Brahman atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan bunga-bunga yang menyimbolkan “ Wasana “, secara harfiah kita berserah diri di hadapanNYA yang merupakan sari dari keberadaan kita yang alami. Ketika kita mengambil bunga untuk persembahyangan kelima jari-jari tangan menjuntai ke bawah, hal ini menunjukkan Bahwa manusia masih terikat oleh keduniawian, dan masih terikat oleh benda-benda material, serta masih dipengaruhi oleh rasa emosional yang tinggi. Selanjutnya bunga-bunga tersebut juga dibawa keatas oleh jari-jari tangan yang tercakup, hal ini menyimbolkan Bahwa seseorang mempersembahkan karma wasananya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Dengan kata lain kecenderungan yang mengarah pada hal-hal yang berbau duniawi kini diarahkan menuju Brahman atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Bulan tilem juga sering diistilahkan dengan hati atau pikiran manusia yang sedang menyusut , dengan perumpamaan yang berbasis pada kekuatan kala atau waktu. Jika pikiran seseorang sedang keruh , dirasuki oleh sifat-sifat angkara murka , maka diistilahkan dengan bulan yang dewatanya sedang menyusut menuju pada kegelapan ( Tilem ). Hal ini hampir dialami oleh setiap orang, sehingga pada bulan tilem banyak orang yang masih bingung dan meraba-raba dalam kegelapan karena manusia ada dalam pengaruh maya / kepalsuan. Pengaruh maya / kegelapan disimboliskan dengan bulan mati / tilem yang selalu bertarung dalam pikiran manusia , jika Atma Tatwa yang menang atau lebih dominan maka seseorang akan menjadi bijaksana , welas asih dan berbudi pekerti yang luhur, jika Maya Tatwa yang menang atau lebih dominan maka egonya muncul, ingin selalu lebih unggul, mudah sekali dihinggapi oleh sifat-sifat buruk. Hari suci tilem dirayakan dengan tujuan untuk menumpas kegelapan tersebut berupa hawa nafsu jahat yang disebut dengan sad ripu yaitu : kama ( hawa nafsu ), kroda ( kemarahan ), lobha ( ketamakan ), moha ( keterikatan ), mada ( kesombongan ) dan matsarya ( iri hati / kebencian ).
Sungguh merupakan suatu keberuntungan bahwasanya umat Hindu banyak mempunyai hari-hari suci dan tempat-tempat suci. Hal ini menandakan bahwa potensi untuk menuju kearah perbaikan karakter dan budi pekerti selalu ada, karena tempat-tempat suci lebih banyak mengandung energi fibrasi kebaikan , aura kedamaian dan ketenangan. Jika hati dan pikiran sedang diliputi oleh angkara murka maka seseorang dianjurkan untuk mengunjungi tempat-tempat suci tersebut. Tilem dirayakan oleh umat Hindu di Nusantara ini , namun ditiap-tiap daerah terdapat perbedaan dalam melakukan ritual upacaranya, namun perbedaan itu hanyalah kulit luarnya saja, karena inti ajarannya atau makna yang terkandung didalamnya tetap sama. Kenapa perbedaan itu harus ada , kenapa ritual umat Hindu tidak sama antara daerah yang satu dengan yang lain ?. Masalahnya umat Hindu sangat menghormati konsep Desa, Kala, Patra ( tempat, waktu, dan budaya/ adat istiadat setempat ). Namun hal ini sebenarnya tidak perlu dirisaukan dan dipermasalahkan.Para Rsi kita  senantiasa menganjurkan agar jangan melihat perbedaan itu dari sisi luarnya , karena masing masing pribadi mempunyai pandangan yang berbeda beda. Ketika seseorang mau menerima perbedaan berarti orang tersebut mau membuka diri terhadap sesuatu yang ada diluar dirinya . Untuk itu pikiran harus mendapatkan pencerahan dari budi atau kemampuan untuk membedakan , dan tidak dari indra indra yang merupakan kekuatan yang membingungkan. Bila keinginan indrawi menodai pikiran maka mereka tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan dan kegembiraan., hanya melalui “ Prema “ Tuhan yang imanen yang sudah menjadi sifatnya sendiri dapat dikenal , kerinduan untuk mencapai kesempurnaan yang sudah menjadi sifatnya dalam kebenaran . Untuk itu singkapkanlah awan gelap ketidak tahuan dan egoisme yang menutupi permukaan , dan Tuhan akan senantiasa dekat, Tuhan akan senantiasa akan sayang dan senantiasa siap dengan nasehat spiritualnya yang akan menuju kesempurnaan.
Melaksanakan ritual upacara bagi umat Hindu adalah identik dengan kesukacitaan , kegembiraan dan nuansa religius serta keindahan. Pada saat upacara yadnya berlangsung rasa permusuhan dan dendam terhadap sesama saudara lenyap , yang terlihat padasaat itu adalah rasa kebersamaan , kerukunan dan kedamaian . Bau wangi pedupaan, harumnya bunga bungaan, , dentingan bajra sang Pendeta, syahdunya lagu lagu / kidung kidung pemujaan membuat suasana hati tentram dan damai.
Bulan yang tadinya bersinar terang tiba tiba berubah menjadi gelap gulita itu disebut dengan gerhana bulan. Tanda -tanda alam seperti ini sering dihubung-hubungkan akan terjadinya peristiwa yang luar biasa dibumi ini , misalnya selang beberapa hari atau beberapa minggu didaerah tertentu akan terjadi bencana alam , wabah penyakit , keributan antar masa dan sebagainya . Untuk mengantisipasi hal tersebut orang-orang bijaksasna yang mengetahui seluk beluk kejadian alam tanda-tanda alam, sepakat untuk melakukan yoga semadi , untuk mendoakan agar bumi ini terhindar dari bencana. Gerhana yang diidentikkan dengan seorang yang yang tadinya riang gembira tiba-tiba berubah menjadi murung dan sedih , karena ada salah satu anggota keluarganya yang tertimpa musibah . Orang yang demikian itu dikatakan hatinya diliputi oleh gerhana. Tradisi khusus di Bali jika terjadi gerhana bulan , maka orang sibuk membunyikan kentongan yang tujuannya adalah untuk mengusir Sang Kala Rahu yang menelan bulan .Mitos ini tertuang dalam Purana yang kemudian menjadi dongeng yang sangat populer . Kisah ini terjadi ketika para raksasa dan para dewa bekerja sama mengaduk lautan susu untuk mencari “ Tirta Amerta “ atau Tirta Kamendalu . Konon siapa saja yang meminum tirta amerta tersebut maka dia akan abadi ( tidak bisa mati ) . Maka setelah tirta itu didapatkan kemudian dibagi rata , dan yang bertugas untuk membagi amerta tersebut adalah Dewa Wisnu yang menyamar menjadi gadis cantik , lemah gemulai. Dalam kesepakatan diatur Bahwa para Dewa duduk dibarisan depan sedangkan pararaksasa duduk dibarisan belakang. Kemudian Raksasa yang bernama Sang Kala Rahu yang menyusup dibarisan para Dewa dengan cara merubah wujudnya menjadi Dewa. Namun penyamaran itu diketahui oleh Dewa Candra atau Dewa Bulan . Ketika tiba giliran Sang Kala Rahu mendapatkan “ Tirtha Keabadian “ disitulah Dewa Candra berteriak . Dia itu bukan Dewa, dia adalah raksasa Kala Rahu . Namun sayang tirtha itu sudah terlanjur diminum. Tak ayal cakra Dewa Wisnu menebas leher Sang Kala Rahu . Karena lehernya sudah tersentuh oleh tirtha keabadian sehingga Sang Kala Rahu tidak tersentuh oleh kematian. Wajahnya tetap hidup melayang- layang di angkasa . Sedangkan tubuhnya mati karena belum sempat tersentuh oleh Tirtha Kamendalu / Tirtha Amerta. Sejak saat itu itulah dendamnya Sang Kala Rahu terhadap Dewa Bulan tak pernah putus. Dia selalu mengincar dan menelan Dewa Bulan, tetai karena tubuhnya tidak ada maka rembulan muncul kembali ke permukaan , begitulah setiap Sang Kala Rahu menelan Dewa Bulan terjadilah Gerhana. Makna yang terkandung dalam mitos ini adalah Bahwa jika seseorang belum bisa melepaskan sifat- sifat keraksasaannya , maka dia itu belum boleh mendapatkan keabadian. Sang Kala Rahu yang tidak sabar menunggu giliran akhirnya harus kehilangan tubuhnya , sedangkan Dewa Candra yang menjadi sasaran kemarahan Sang Kala Rahu . Jika terjadi gerhana , maka dunia akan mengalami bencana atau musibah . Untuk menanggulangi hal ini hendaknya seseorang selalu eling dan waspada . Setelah terjadinya Gerhana orang – orang wikan membuat sesajen tertentu untuk mencegah sebelum bencana itu terjadi . Gerhana lebih banyak disoroti oleh para ilmuwan modern sebagai peristiwa alam biasa dan tidak perlu dibesar – besarkan . Namun bagi kalangan supra natural gerhana bulan tetap harus diwaspadai . Dengan kata lain hendaknya masyarakat berhati – hati karena peristiwa buruk sangat rawan terjadi.
Meskipun kepercayaan akan adanya peristiwa yang tidak diharapkan tetapi tetap harus diwaspadai . Tilem memberi kesempatan yang seluas – luasnya kepada umat Hindu untuk melakukan ritual pemujaan . Hendaknya hari suci tilem dimanfaatkan untuk memupuk nilai – nilai keimanan dalam diri setiap orang . Musnahkanlah sifat – sifat raksasa dalam diri , orang yang berilmu pengetahuan herndaknya seperti bulan yang memberi kesejukan dan penerangan bagi semuanya . Tilem , hari yang identik dengan kesucian , keharmonisan, dan kegembiraan. Tekadkan niat untuk selalu berada di jalan yang lurus, percaya Bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa akan senantiasa membimbing umatNYA, menuju kealam yang sunyata atau alam yang sesungguhnya . Alam yang tidak ada konplik , alam kebebasan , alam kebahagiaan yang abadi. Lakukanlah pemujaan yang setulus – tulusnya , perlihatkanlah Bahwa semakin hari semakin menyusut ego bhaktanya , jadi bukan kebijaksanaannya yang menyusut , melainkan keangkuhannya , kesombongannya dan keserakahannya .
Dia yang dipuja turut memuja, mem,berkati dengan rahmatNYA , dengan senyum manisNYA , dengan kasih sayangNYA . Dia yang tulus , meluluskan permohonaNYA dengan karunia kebijaksanaan. Dia yang berbakti , terberkati dengan karunia yang berlimpah . Dia yang menghibur, terhibur oleh alunan musik surgawi dan kedamaian. Dia yang mendoakan kidung perdamaian , memperoleh anugrah shanti dihatinya dan kasih sayang yang tulus. Seperti ada salah satu sloka dalam Mahabharata :
Sarwa bhawantu sukhinah
Sarwa santu niramayah
Sarwa Bhadrani pasyantu
Ma kascid dukha bag bhavet
Semoga semua bahagia
Semoga semua sehat dan jujur
Semoga semua menjumpai kebahagiaan
Semoga tidak ada yang sengsara.

Selasa, 28 Juli 2015

keagungan sapi

Makalah Hindu


KEAGUNGAN SAPI DALAM BUDAYA HINDU
(KONSEP TOTEMISME DALAM TEOLOGI
DAN FILSAFAT HINDU)

     Oleh :
Ni ketut Santi
11.1.4.5.1.18
S1

JURUSAN TEOLOGI FAKULTAS BRAHMA WIDYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI
DENPASAR
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena atas Asung Kerta Waranugraha-Nyalah penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul “Keagungan Sapi dalam Budaya Hindu (Konsep Totemisme dalam Teologi dan Filsafat Hindu)” tepat pada waktunya. Terimakasih penulis ucapkan kepada Ibu Dra. Relin D.E., M.Ag. selaku dosen pembimbing dalam mata kuliah Pengantar Filsafat, dan juga ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan makalah ini sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun yang sekiranya dapat digunakan untuk perbaikan pada tugas berikutnya.
Denpasar, Desember 2011
Penulis

 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Hindu merupakan agama yang universal, universal disini yang dimaksud adalah ajaran – ajaran yang terdapat dalam Hindu terdapat pula dalam agama lain. Setiap ajaran  terdapat dalam kitab suci yaitu Veda yang dijadikan pedoman dan patokan umat Hindu dalam menjalankan hidup. Agama Hindu merupakan karya Tuhan yang monumental, sama monumentalnya dengan keberadaan alam semesta beserta isinya (Donder, 2006 : 138). Oleh karena itu, Sebagai karya Tuhan yang monumental, Hinduisme mengandung berbagai macam Isme atau kepercayaan, yang diantaranya Animisme (percaya bahwa segala yang ada di alam semesta ini memiliki roh), Dinamisme (kepercayaan primitif dimana semua benda itu memiliki kekuatan yang bersifat gaib), Anthropomorfisme (kepercayaan bahwa  penggambaran Tuhan melalui wujud manusia maha sempurna yang memiliki kelebihan), Politeisme (kepercayaan tehadap adanya banyak Tuhan), Monisme (keparcayaan bahwa segala yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa atau Tunggal), Pantheisme (kepercayaan yang mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan), Totemisme (kepercayaan pada benda, hewan, atau tumbuh-tumbuhan yang disucikan atau dianggap suci), Kathenoisme (kepercayaan terhadap adanya Deva tertinggi), dan Monotheisme (kepercayaan adanya percaya dan menyembah hanya pada satu Tuhan. Hinduisme adalah kebenaran objektif yang intersubjektif, artinya Hinduisme adalah kebenaran fakta yang dapat menerima kebenaran dari manapun sepanjang tidak bertentangan kesemestaan (Donder, 2006 : 138). Dari Isme di atas, penulis akan membahas Isme yaitu konsep Totemisme. Totemisme merupakan percaya pada hewan atau tumbuhan yang dianggap suci, karena dianggap merupakan penjelmaan dari Deva. Di dalam Hindu banyak sekali terdapat benda, Tumbuhan dan Hewan yang suci, salah satunya adalah hewan Sapi.
Gavah visvasyah matarah – sapi adalah ibu seluruh dunia (Darmayasa, 2008 : 22). Sapi dikatakan sebagai ibu dunia karena sapi mampu menghidupi dunia ini, segala yang ada dalam sapi dapat digunakan. Sapi diibaratkan bumi yang siap menghasilkan seperti bumi akan menghasilkan bahan – bahan makanan manusia seperti sayur, buah, dan lain sebagainya. Begitu juga dengan sapi yang siap menghasilkan susunya setiap hari, susu tersebut di konsumsi oleh seluruh umat manusia di dunia ini. selain itu, sapi juga merupakan wahana Deva Siva yang bernama Nandini, dan sapi juga merupakan hewan peliharaan Avatara Krsna. Oleh karena itu, sudah sepatunya umat Hindu menghormati sapi dan pantang  untuk memakan daging sapi, karena sapi sangat dihormati oleh umat Hindu. Inilah yang melatar belakangi penulis tertarik untuk mengangkan topik ini dalam sebuah paper yang berjudul “Keagungan Sapi dalam Budaya Hindu (Konsep Totemisme dalam Teologi dan Filsafat Hindu)”.
1.2  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yaitu sebagai berikut :
           1.      Bagaimana pandangan masyarakat Hindu terhadap sapi?
           2.      Bagaimana konsep Totemisme dalam Teologi dan Filsafat Hindu?
           3.      Bagaimana keagungan sapi dalam teks – teks Hindu?
1.3  Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, terdapat tujuan yaitu sebagai berikut :
            1.      Untuk mengetahui pandangan masyarakat Hindu terhadap sapi.
            2.      Untuk mengetahui konsep Totemisme dalam Teologi dan Filsafat Hindu.
            3.      Untuk mengetahui keagungan sapi yang terdapat dalam teks – teks Hindu.
            4.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Filsafat.

1.4  Manfaat
Manfaat teoritis
Diharapkan dengan paper yang sederhana ini dapat membantu para pembaca sebagai bahan bacaan, sebagai bahan perbandingan maupun sebagai acuan dalam penulisan karya tulis yang relevan dengan paper ini.
Manfaat praktis
1.      Bagi mahasiswa
Melalui paper ini mahasiswa diharapkan mampu memahami isi paper ini dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari – hari.
2.      Bagi masyarakat
Melalui paper ini diharapkan masyarakat mengetahui dan mampu memahami makna isi paper ini dan menjadikannya pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
2.4  Pandangan Masyarakat Hindu Terhadap Sapi
2.1.1.      Pandangan Masyarakat yang ada di India
Sapi memiliki kelebihan dari hewan – hewan lain dan dianggap suci, sapi juga dikatakan bahwa induk atau ibu dari semua hewah yang ada di dunia ini. Sapi banyak memberikan manfaat kepada umat manusia, sapi memberikan susunya kepada manusia dan dikatakan sebagai ibu karena setiap saat memberikan asinya kepada manusia. Selain susunya kotoran dari sapi pun sangat bermanfaat yaitu digunakan sebagai pupuk yang dapat menyuburkan bumi pertiwi. Masyarakat Hindu yang ada di India sangat menghormati sapi, bahkan mereka yang mendalami spritual Hindu amat berpantangan makan daging sapi. Sejak turunnya Avatara Krsna, sapi sudah sangat dihormati. Dalam kitab Purana yang tergolong Visnu Purana atau Satvika Purana disebutkan Krsna sebagai “Gopala” artinya pelindung sapi (Darmayasa, 2008 : 9). Dalam buku keagungan sapi menceritakan para Gopi sendiri adalah para peternak pengikut Krsna yang mengembala sapi. Sri Krsna sebagai pengembala sapi adalah lambang hubungan antara alam semesta dan segala isinya dengan Tuhan. Sri Krsna Avatara Tuhan Yang Maha Esa yang berfungsi sebagai pelindung dan pemelihara alam semesta ini. Sedangkan sapi yang digembala oleh Sri Krsna tidak lain adalah lambang alam semesta ini. Dan para Gopi adalah  manusia pengikut ajaran Veda yang wajib ikut menjaga alam semesta ini untuk kebahagiaan hidup lahir dan bathin. Susu sapi yang di nikmati oleh para Gopi di Brindavana adalah susu lambang dari pada hasil bumi atau hasil alam berupa tumbuh – tumbuhan sebagai sumber makanan utama manusia. Brindavana adalah kerajaan di mana Nanda sebagai raja dan Yasoda sebagai permaisuri. Di kerajaan inilah Sri Krsna waktu kecil dipelihara agar tidak diketahui oleh Raja Kangsa, paman Sri Krsna, yang ingin membunuhnya, karena ada suatu sabda Tuhan bahwa Raja Kangsa akan dibunuh oleh Putra Devaki yang kedelapan. Di kerajaan Brindavana inilah sapi – sapi disayang, dihormati, dipelihara, dengan penuh kasih sehingga menghasilkan susu berlimpah, sumber makanan penduduk. Para Gopi di Brindavana ini adalah rakyat yang tidak berpendidikan tinggi, namun lugu, penuh dengan rasa bakti pada Tuhan, jujur dan tekun merawat sapi – sapi yang dilindungi oleh Sri Krsna. Keadaan para Gopi di Brindavana ini, adalah suatu teladan bagi mereka yang ingin mencapai kesempurnaan hidup lewat jalan bhakti dan pengabdian kepada Tuhan. Pengabdian kepada Tuhan adalah dengan jalan merawat sapi alam semesta ini yang merupakan sember kehidupan semua mahluk (Darmayasa, 2008 : 11).
2.1.2.      Pandangan masyarakat yang ada di Indonesia
Dewasa ini, Indonesia merupakan Negara yang memiliki keanekaragaman budaya, suku dan agama. Indonesia memiliki enam agama yang diantaranya Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Islam merupakan agama terbanyak yang memiliki umat di Indonesia. Mereka memiliki hari raya di mana pada saat itu mereka melakukan upacara Kurban, mereka menyembelih hewan seperti sapi, kambing yang nantinya akan diberikan kepada pakir miskin. Upacara ini memang memiliki makna yang sangat mulia karena telah membantu pakir miskin, akan tetapi dalam konsep Hindu itu sangat menyalahi aturan. Seperti yang dijelaskan dalam buku keagungan sapi bahwa sapi merupakan ibu dari alam semesta. Semestinya kita sangat menghormati sapi, dan sapi tidak pantas untuk dibunuh atau disembelih, walaupun tujuannya mulia untuk membantu para pakir miskin. Tidak sepantasnya kita membahas ini lebih lanjut, karena setiap agama itu memiliki konsepnya masing – masing. 
Masyarakat Hindu yang ada di Indonesia pada umumnya, khususnya Bali menggunakan sapi sebagai simbol dalam upacara Pitra yadnya yaitu upacara Ngaben yang menggunakan sapi atau lembu menjadi sarana yang sangat penting dalam pembakaran jenazah. Dalam hal ini lembu tersebut adalah lambang alam semesta atau bumi (Darmayasa, 2008 : 4). Akan tetapi didalam kehidupan umat Hindu Bali belum paham akan penghormatan kepada sapi. Banyak umat Hindu yang tidak menghormati sapi seperti pada saat membajak sawah sapi dipukul, ditendang, dipaksa untuk membajak sawah, bahkan lebih parah lagi masih ada yang membunuh sapi dan memakan daging sapi. Dalam Catur Veda sudah jelas dikatakan bahwa :
Mata rudranam duhita vasunam
Svasadityanamamrtasya nabhih
Pranuvocam cikituse janaya
Ma gamanagamaditim vadhistira.
Sapi adalah ibu dari sebelas Rudra, putri dari para vasu,
Saudari dari putra – putra Aditi, saudari Sri visnu,
Pokok persembahan  kurban – kurba para dewa.
Karena itu, ku umumkan kepada
orang – orang berbudi pekerti dan bijaksana,
Jangan membunuh sapi yang tidak berdosa
dan yang tidak doleh dibunuh.
Rg Veda. 8. 11. 15.
Dari sloka diatas sangat jelas ditegaskan Ma Vadhistha artinya jangan dibunuh. Kata anagam dan aditim yang artinya dia yang tidak berdosa dan dia yang sama sekali tidak boleh dibunuh. Karena sapi adalah ibu dari para Rudra, sapi adalah putri dari para Vasu, saudari dari Sri Visnu,  saudari dari Aditya, karena sapi adalah pokok dari para yajna pusat dari amerta, karena sapi adalah anaga atau tidak berdosa, maka kuukmukan ma vadhistha, jangan dibunuh. Cikituse janaya juga sangat bermakna, yaitu permintaan ini, harapan ini, pengumuman ini, atau doa ini ditujukan kepada orang – orang berbudi pekerti dan bijaksana.
2.5  Konsep Totemisme dalam Teologi dan Filsafat Hindu
Hindu mengenal berbagai konsep yang salah satunya adalah konsep Totemisme. Totemisme adalah keyakinan akan adanya binatang keramat yang sangat dihormati. Binatang tersebut diyakini memiliki kesaktian. Umumnya adalah binatang binatang mitos, juga binatang tertentu di alam yang dianggap keramat (Titib, 1996 : 86). Dalam buku teologi kasih semesta dijelaskan bahwa pendapat lain mengenai pengertian Totemisme adalah adalah kepercayan pada benda atau tumbuh – tumbuhan atau hewan – hewan yang disucikan (dianggap suci) karena dianggap sebagai penjelmaan dewa yang merupakan nenek moyang kita. Dari pengertian di atas, Hindu memiliki ajaran yang tidak ada di aama lain. Hindu memberikan penghormatan kepada benda, tumbuhan dan sapi yang dianggap suci. Dalam beberapa sloka yang terdapat dalam Bhagavadgita juga menjelaskan mengenai Totemisme yang diantaranya :
asvatthah sarva-vrksanay            devarṣinam ca naradah
gandharvanam citrarathah          siddhanam kapilo munih
Di antara semua pohon, aku adalah pohon beringin.
Di antara resi di kalangan para dewa Aku adalah Narada.
Di antara para Gandharva Aku adalah Citraratha, dan
Di antara makhluk-makhluk yang sempurna Aku adalah resi Kapila.
Bhagavad Gita X. 26.
Pohon beringin (asvattha) adalah salah satu di antara pohon – pohon yang paling tinggi dan paling indah, dan banyak pengikut Veda memuja pohon itu sebagai salah satu ritual yang dilakukan pagi – pagi setiap hari. Di antara para dewa, mereka juga menyembah Narada, penyembah yang paling mulia di alam semesta. Karena itu, Narada adalah perwujudan Krsna sebagai seorang penyembah. Planet Gandharva penuh dengan makhluk yang menyanyi dengan merdu sekali, dan diantara semuanya, penyanyi terbaik adalah Citraratha. Di antara semua makhluk hidup sempurna, Kapila putera Devahuti, adalah perwujudan dari Krsna. Kapila adalah penjelmaan dari Krsna, dan filsafat Kapila disebut dalam Srimad-Bhagavatam. Kemudian ada orang lain yang bernama Kapila yang menjadi terkenal, tetapi filsafat Kapila yang kedua tidak percaya kepada Tuhan. Karena itu ada perbedaan besar antara antara Kapila yang pertama dan Kapila yang kedua. Menurut Donder (2006 : 215) yang menyatakan bahwa konsep totemisme di dalam agama Hindu dapat ditemukan dalam bebrapa sloka antara lain ;
2.2.1     Benda – benda Totemisme dalam Hinduisme
Totemisme sebagaimana diuraikan di atas, bahwa didalamnya terdapat beberapa isme, salah satu dintaranya adalah unsur kepercayaan terhadap benda – benda yang dianggap keramat (Donder, 2006 : 216). Dalam kitab suci Bhagavadgita terdapat beberapa perumaan dari Sri Krisna yang berkaitan dengan benda – benda totemisme yang diantaranya ;  sthavaranam himalayah ‘di antara benda – benda yang tak bergerak Aku (Tuhan) adalah gunung Himalaya’ (Bhagavadgita X : 25). Kalimat ini mengandung arti bahwa Tuhan dalam hal ini diwujudkan sebagai Krsna diumpamakan sebagai benda yang tertinggi di dunia yaitu gunung Himalaya, yang berarti Sri Krsna dalam hal ini manifestasi dari Tuhan merupakan yang tertinggi dan paling mulia. Kalimat yang lain yaitu sarasam asmi sagarah ‘di antara danau Aku (Tuhan) adalah samudera’ (Bhagavadgita X : 24). Kalimat ini menjelaskan bahwa di antara semua sumber air, samuderalah (lautan) yang paling besar. Dari segala perwujudan Tuhan sebagai Krsna,  hanya memberi isyarat – isyarat tentang kebesaran Tuhan. Di bawah ini salah satu Sloka dalam Bhagavadgita yang menunjukan Tuhan dalam perumpamaannya sebagai benda – benda totemisme yaitu sebagai berikut :
Adityanam aham visnur          jyotisam ravir amsuman
Maricir marutam asmi            Naksatranam aham sasi
Di antara para Aditya aku adalah Visnu
Di antara sumber – sumber cahaya Aku adalah matahari yang cerah di antara para Marut Aku adalah Marici di antara bintang – bintangAku adalah bulan
Bhagavadgita X. 21.
Dari sloka di atas, dijelaskan dua belas Aditya. Krsna adalah yang paling utama di antara dua belas Aditya itu. Di antara semua sumber cahayadi langit, mataharilah yang paling utama, dalam brahma-Samhita matahri diakui sebagai mata-Nya Tuhan Yang Maha Esa yang cemerlan. Ada lima puluh jenis angin ysng bertiup di angkasa. Di antara angin – angin itu, Marici, dewa yang menguasainya, adalah lambang Krisna.  Di antara bintang – bintang, bulanlah yang paling terkemuka pada waktu malam. Karena itu, bulan adalah lambang Krsna. Dari ayat ini,  bulan adalah salah satu bintang – bintang yang berkelap kelip di angkasa juga mencerminkan dari cahaya matahari. Teori bahwa ada banyak matahari dalam alam semesta tidak diakui oleh kesusastraan Veda. Matahari adalah satu, bintang – bintang memancarkan cahaya yang dipantulkan dari matahari. Seperti halnya bulan juga memancarkan cahaya yang dipantulkan dari matahari. Oleh karena Bhagavad-gita menunjukan disini bahwa bulan adalah salah satu bintang, binang yang berkelap – kelip bukan matahari – matahari, tetapi serupa dengan bulan (Prabhupada, 1987 : 531).
Kalimat – kalimat wejangan Sri Krsna tersebut di atas bermaksud menjelaskan bahwa jika Tuhan diumpamakan benda – benda, maka segala sesuatu yang terbesar, terhebat yang tiada tandingannya, adalah wujud yang boleh digunakan untuk mewakili perumpamaan itu (Donder, 2006 : 216). Walaupun sesungguhnya benda – benda itu bukanlah Tuhan itu sendiri, maka tidak salah jika manusia mengagung–agungkan bahkan menyembah perumpamaan – perumpamaan yang diwejangkan oleh Sri Krsna. Donder (2006 : 217) mengatakan tidak ada kata salah bagi proses pendakian spiritual, seorang pendaki gunung akan selalu menemukan berbagai level “tempat peristirahatan sementara” yang semakin memperluas pandangan dan lebih mengasikan perjalanan pendakiannya.
2.2.2     Tumbuh – tumbuhan Totemisme dalam Hinduisme
Totemisme sebagai konsep Hindu yang didalamnya terdapat kepercayaan terhadap tumbuh – tumbuhan yang dianggap keramat atau suci. Di dalam kitab Bhagavadgita, Catur Veda, kitab Purana menyebutkan beberapa tumbuhan – tumbuhan yang dianggap suci, seperti pohon Beringin, pohon Tulasi, pohon Bilva, pohon Kalpavrksa tanaman Soma. Di dalam Bhagavadgita terdapat beberapa Sloka yang menyebutkan tumbuh – tumbuhan yang dianggap suci yaitu : Asvatthah sarva-vrksanam ‘Di antara semua pohon, Aku (Tuhan) adalah pohon beringin’ (Bhagavadgita X.26). Kalimat ini menjelaskan bahwa pohon beringin (asvattha) adalah salah satu di antara pohon – pohon yang paling tinggi dan paling indah, dan banyak pengikut Veda memuja pohon itu sebagai salah satu ritual yang dilakukan pagi – pagi setiap hari (Prabhupada, 1989 : 534). Asvattha juga dijelaskan dalam Rg Veda sebagai pohon suci.
Selain pohon Beringin, pohon Tulasi juga merupakan pohon yang dianggap suci dan pohon ini sangat identik dengan keberadaan Avatara Sri krsna. Donder (2006 : 217) menceritakan bahwa dalam kitab Brahmavaivarta Purana, dikisahkan seorang raja Kusadhavaja memiliki seorang putri yang sangat cantik hingga anak itu diberi nama Tulasi yang artinya tidak tertandingi. Tulasi yang cantik ini jatuh cinta pad Sri krsna, namun karena berbagai hal menyangkut rangkaian karma Tulasi ini tidak gampang untuk meraih lelaki pujaannya dalam artian fisik. Berbagai rintangan telah dilalui hingga harus bersuami dengan seorang raksasa ganteng bernama Sankhacuda. Oleh skenario Sri Krsna sendiri, sankhacuda meninggal dalam pertempuran. Untuk mendamaikan hati sang janda (Tulasi), maka Sri Krsna memberitahukan Tulasi akan mendapatkan tubuh kedewataan untuk bisa masuk kedalam Vaikuntaloka tempatnya Sri Krsna. Di sana Tulasi akan bersatu kembali dengan Sri krsna, sedangkan tubuh fisiknya yang masih ada di bumi akan menjadi sungai Gandaki yang suci dan mengalir melalui Bharatavarsa, dan rambutnya akan tumbuh menjadi tanaman Tulasi yang suci. Sejak itu dikenallah tanaman Tulasi itu sebagai tanaman suci. Diuraikan dalam Purana, apabila seseorang mandi dengan menggunakan air yang sudah disucikan menggunakan Tulasi, itu sama artinya dengan melakukan Tirthayatra ke semua tempat suci. Jika orang berkata – kata yang tidak pantas ketika memegang Tulasi, maka akan mendapatkan neraka dengan waktu yang sangat lama.
Donder (2006 : 219) menyatakan ada juga tanaman lainnya yang dihormati yaitu tanaman Soma yang kurang lebih desebut sebanyak 140 kali dalam Veda. Tanaman Soma ini diartikan “manis (madu) kenikmatan” dari kebahagiaan yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Soma merupaka minuman apar dewa.
Pohon Bilva dipercaya sebagai pohon suci, yang masyarakat Bali biasa menyebutnya dengan nama Bila atau Maja. Selain jenis tanaman di atas, pohon Kalpavrksa juga dikenal sebagai tumbuhan suci yang hidupnya di khayangan (devaloka). Di katakan pohon ini akan mengabulkan apa saja yang dimohonkan oleh seseorang.
Tumbuh – tumbuhan ini merupakan tumbuhan yang memiliki kedudukan yang sangat penting baik dalam hubungannya memperkuat keyakinan kepada Tuhan ataupun fungsinya sebagai sarana untuk mengenang kembali hubungan asal – usul atau silsilahnya (Donder, 2006 : 221). Dan karena tumbuhan tersebut memiliki fungsi religi, maka wajarlah umat manusia mengagung – agungkan dan memuja tumbuhan tersebut.
2.2.3     Hewan – hewan Totemisme
Selain kepercayaan terhadap benda dan tumbuha suci, dalam totemisme juga menjelaskan mengenai kepercayaan akan adanya hewan – hewa suci. Di dalam kitab Bhagavadgita, Sri Krsna dalam wejangannya terdapat perumpamaan – perumpamaan dari Sri Krsna (Tuhan), seperti : dhenunam asmi kamadhuk ‘di antara sapi – sapi Aku (Tuhan) adalah surabhi’ (Bhagavadgita X : 28). Di Krsnaloka di angkasa rohani sapi – sapi yang dapat di perah pada setiap saat, dan sapi – sapi itu memberi susu sebanyak apa yang diinginkan seseorang. Tentu saja, sapi –sapi seperti itu tidak ada di dunia material ini, tetapi disebut bahwa sapi –sapi itu ada di Krsnaloka. Krsna memelihara banyak sapi –sapi seperti itu yang disebut surabhi. (Prabhupada 1989 : 536). Sarpanam asmi vasukih ‘di antara ular – ular Aku (Tuhan) adalah vasuki (Bhagavadgita X : 28).
Di bawah ini sebuah Sloka yang menunjukan perumpamaan dari Tuhan, yaitu sebagai berikut :
Uccaihsravasam asvanam    viddhi mam amrtodbhavam
Airavatam gajendranam     naranam ca naradhipam
Ketahuilah bahwa di antara kuda – kuda Aku adalah Uccaihsrava, yang diciptakan pada lautan dikocok untuk menghasilkan minuman kekekalan. Di antara gajah – gajah yang agung Aku adalah Airavata, dan di antara manusia Aku adalah raja.
Bhagavadgita X.27.
Donder (2006 : 221) mengatakan bahwa penggunaan pigur benda, tumbuhan, dan hewan – hewan tertentu untuk mengumpamakan kemahakuasaan Tuhan adalah sebagai sarana yang berfungsi untuk menjunjung metodologi penanaman Sradha (keimanan). Jika benda – benda, tumbuh – tumbuhan, dan hewan – hewan itu kemudian berubah fungsi menjadi isme ataupun dogma, dan bukan sekedar mitos, maka hal itu merupakan proses pendakian spiritual. Sebagai seorang pemula dalam pendaki spiritual pasti akan menemukan kepercayaan terhadap isme  ini. Dan dengan perumpamaan – perumpamaan ini, setidaknya manusia akan lebih menghargai keberadaan benda, tumbuhan dan hewan – hewan tersebut, sehingga akan tercipta keharmonisan yang seimbang di alam semesta ini.
2.6  Keagungan Sapi dalam Teks – Teks Hindu
Keagungan sapi terdapat dan tertulis dalam teks – teks Hindu, seperti yang terdapat dalam kitab Catur Veda yang terdiri dari ; Rg Veda, Sama Veda, Yajur Veda, dan atharva Veda. Selain Catur Veda, Hindu juga mengenal kitab Bhagavadgita yang dimana isi dari kitab Bhagavadgita adalah percakapan dari Sri krsna dan Arjuna yang menceritakan tentang kewajiban-kewajiban umat manusia.
Berikut ini adalah bukti-bukti tentang keagungan sapi yang terdapat dalam teks – teks Hindu adalah sebagai berikut :
2.3.1      Rg Veda
Rg Veda merupakan salah satu bagian dari Catur Veda, di bawah ini beberapa sloka yang menggambarkan tentang keagungan sapi yang terdapat dalam Rg Veda sukta 28, yaitu diantaranya :
a gavo agmann uta bhadm akran sidantu gosthe
Ranayantv asme prajavatih pururupa iha syur indraya
Purvir uso duhanah
Semoga sapi – sapi datang dan membawakan kami peruntungan baik
Biarlah mereka tinggal dalam kandang kami dan menikmatinya dalam kebersamaan dengan kami semoga banyak sapi yang berwarna – warni membawa kemari susu melimpah guna persembahan pada penguasa maha cemerlang di banyak fajar
Rg Veda 6.28.1.
na ta nasanti na dabhati taskaro
nasam amitro vyathir a dadharsati
devams ca yabhir yajate dadati ca
jyog it tabhih secate gopatih saha
jangan biarkan sapi – sapi berlarian menyingkir dari kami jangan biarkan pencuri mengambilnya jangan biarkan senjata musuh menimpanya semoga majikan dari ternak lama memilikinya dengan hasil susu yang dapat dijadikan persembahan dan dapat dipakai untuk melayani manusia ilahi
Rg Veda 6.28.3.
Na ta arva renukakato asnute na
Samskrtatram upe yanti ta abhi
Urugayam abhayam tasya ta anu gavo
Martasya vi caranti yajvanah
Jangan biarkan sapi – sapi menjadi korban kuda perang yang angkuh dan yang menimbulkan debu. Jangan biarkan mereka jatuh ketangan para penjagal atau tokonya. Biarlah ternak orang – orang, kepala rumah tangga, bebas bergerak dan merumput tanpa rasa takut.
Rg Veda 6.28.4.
Gavo bhago gava indro me acchan
Gavah somasya prathamasya bhaksah
Ima ya gavah sa janasa indra
Icchamid dhrda manasa cid indram
Semoga sapi – sapi menjadi kemakmuran kami, semoga penguasa maha cemerlang menganugrahi kami ternak : semoga sapi –sapi menghasilkan makanan (susu dan mentega) dari sesajian pertama. Wahai manusia, sapi – sapi ini sacral seperti penguasa maha cemerlang itu sendiri, - penguasa yang berkahnya kami dambakan, dengan kepala dan hati.
Rg Veda 6.28.5
Yuyam gavo madayatha krsam cid
Asriram cit krnutha supratikam
Bhadram grham krnutha bhadravaco
Brhad vo vaya ucyate sadhasu
Wahai sapi, engkau bahkan memperkuat yang lelah dan using serta membuat yang tak menyenangkan menjadi indah dipandang. Kelembutanmu menguntungkan dan menjadi makmur. Sangat agung kelimpahan yang dikenakan padamu dalam upacara keagamaan kami.
Rg Veda 6.28.6.
Prajavatih suyavasam risantih suddha
Apah suprapane pibantih
Ma van stena isata maghasamsah pari
Vo heti rudrasya vrjyah
Wahai sapi – sapi, semoga engkau memiliki banyak anak sapi yang merumput pada padang rumput yang baik dan minum air tawar pada kolam yang mudah dicapai. Semoga tak ada pencuri yang menjadi majikanmu. Semoga tak ada binatang buas pemangsa yang menyerangmu dan semoga paser dari penguasa vital tak pernah menimpanya.
Rg Veda 6.28.7.
Sloka di atas menunjukan betapa dihormatinya seekor sapi dalam Rg Veda  sapi akan senantiasa memeberikan susunya yang melimpah untuk kesejahteraan umat manusia. Darmayasa (2009 : 33) menyatakan bawa siapa pun atau keadaan apa pun yang didatangi oleh sapi akan menjadi sejahtera. Upacara suci yang didatangi oleh sapi akan menjadi berhasil, kendati ada kekurangan perlengkapan dan doa.
2.3.2      Yajur Veda
Darmayasa (2009 : 36) dalam Yajur Veda mengatakan apyayadhvamaghnya Lindungilah sapi, dia yang bagaimanapun juga tidak boleh dibunuh. Dibawah ini bebrapa sloka yang terdapat dalam Yajur Veda yaitu sebagai berikut :
Brahma suryasamam jyotir
Dyauh samudrasamam sarah
Indrah prthivyai varsiyan
Gostu matra na vidyate
Sinar dari pengetahuan bisa bibandingkan dengan matahari, surge bisa perbandingan dengan lautan, ibu pertiwi adalah sangat cepat, lebih cepat lagi adalah indra, tetapi catatlah….., bahwa sapi tidak pernah dapat diperbandingkan dengan apa pun.
Yajur Veda 23.48.
Imam sahasram satadharamutsam
Vyacyamanam sarirasya madhye
Ghrtam duhanamamditim janaya
Agne ma hinsih paramevyoman
Dia yang melindungi dan memelihara ratusan bahkan ribuan, dia yang merupaan sumber dari susu, dia yang membagi – bagikan susu kepada orang, dia yang aditi (dia yang tidak boleh dipotong menjadi bagian – bagian), jangan menyiksa sapi yang demikian di dunia ini.
Yajur Veda 13.49.
2.3.3      Sama Veda
Rg Veda menjelaskan mengenai jangan menyakit sapi, begitu juga pada Sama Veda yang menganjurkan untuk tidak menyakiti sapi. Di bawah ini akan di sebutkan salah satu sloka yang terdapat dalam Sama Veda yang menjelaskan mengenai keagungan sapi yaitu sebagai berikut :
Na ki deva inimasi na kyayopayamasi
Mantrasrutyam caramasi
yaitu kita bertindak sesuai dengan perintah, yang terkandung dalam himne Weda. kita, oleh karena itu, tidak pernah resor untuk pembantaian manusia atau lainnya dan kami tidak pernah mencobai siapapun untuk melawan tugas-tugasnya.
Sama veda 176.
Dalam Sama Veda  dijelaskan bahwa hendaknya bertindak sesuai dengan perintah yang terdapat dalam mantra – mantara Veda (Darmayasa, 2009 : 42).  Karena itu, kita hendaknya jangan menyakiti bahkan membunuh orang atau makhluk – makhluk lain di dunia ini. Seluruh bagian – bagian dari Veda menjelaskan untuk tidak menyakiti sapi bahkan membunuh sapi.
2.3.4      Atharva Veda
Atharva Veda merupakan bagian dari catur veda yang terakhir, isi dari Atharva Veda hampir sama dengan bagian – bagian Veda yang lain. Dibawah ini beberapa sloka dalam Atharva Veda yang mengagungkan sapi yaitu sebagai berikut :
Namaste jayamanayai jataya uta ten amah
Balebhyag saphebhyo rupayaghnyai ten amah
Wahai sapi aghnye, Anda yang tidak boleh dibunuh! Pada saat kelahiran Anda aku menyampaikan sembah sujud, setelah Anda lahir pun aku menyampaikan sembah sujud, untuk keseluruhan badan dan wujud Anda, bahkan sampai dengan bulu dan kuku Anda pun aku enyampaika sembah sujud.
Atharva Veda 10.10.
Gobhyo asvebhyo namo yacchalayam vijayate
Vijavati prajavati vi te pasanscrtamas
Dia yang dilahirkan di rumah, kepada sapid an kepada kuda seperti itu sembah sujudku. Wahai rumah di mana sapi dilahirkan dan di mana anak –anak sapi berada, semua akan dibebaskan dari masalah, semua akan dibebaskan dari ikatan – ikatan.
Atharva Veda 9.3.13.
     Jadi, kesimpulan akhir Rg Veda, Yajur Veda, Sama Veda, dan Atharva Veda adalah GAM MA HINSIH atau JANGAN MEMBUNUH SAPI (Darmayasa, 2009 : 55).
BAB III
PENUTUP
3.1  Simpulan
Hindu mengenal konsep – konsep isme, yang salah satunya totemisme yaitu percaya dengan benda, tumbuhan dan hewan – hewan yang dianggap suci. Dalam Hindu hewan yang dianggap suci yaitu sapi. Sapi dikatakan sebagai ibu alam semesta. Seperti halnya bumi yang memberikan hasil yang merimpah ruah sperti bahan pangan, dan berbagai kebutuhan umat manusia, begitu juga sapi yang telah memberikan susunya kepada umat manusia.
Dewasa ini, umat Hindu yang di dunia, khususnya Indonesia dan India memiliki pandangan yang berbeda tetang sapi. Di India, umat Hindu sangat menghargai adanya sapi, tidak menyakiti bahkan membunuh sapi. Lain halnya dengan umat yang ada di Indonesia, khususnya Bali sanngat tidak menghargai sapi, masih banyak masyarakat yang memakan daging sapi, menyakiti sapi ketika membajak sawah. Padahal hal ini sudah jelas tertulis dalam kitab suci Hindu yaitu Veda yang melarang untuk menyakit bahkan membunuh sapi.
Dalam Catur Veda, jelas dikatakan bahwa gam ma hinsih yang artinya jangan membunuh sapi. Sapi harus dihormati, dihargai, tidak boleh disakiti bahkan dibunuh. Berbagai teks – teks Hindu yang menjelaskan tentang keagungan sapi  dan melarang untuk menyakitinya.
3.2  Saran
Sebagai umat Hindu, kita harus bisa mengimplementasikan dari ajaran – ajaran Veda. Setiap sloka yang terdapat dalam Veda harus mampu dipahami dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari - hari. Dalam konsep Hindu  yaitu totemisme yang menganggap sapi sebagai hewan suci, dan jelas tertulis dalam sloka – sloka Veda bahwa umat Hindu sangat menghormati dan menghargai sapi. Oleh karena itu, sangat dilarang bagi umat Hindu untuk makan daging sapi, membunuh sapi, menyakiti sapi, karena sapi telah membantu manusia dalam menjalankan kehidupan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Darmanyasa, Made. 2008. Keagungan Sapi menurut Weda. Denpasar : Pustaka Manikgeni.
Donder, I Ketut. 2006. Brahmavidya : Teologi Kasih Semesta. Surabaya : Paramita.
Maswinara, I Wayan. 2004. Rg Veda Samhita. Surabaya : Paramita.
Swami Prabhupada, Sri-Srimad A.C. Bhaktivedanta. 2006. Bhagavadgita. Indonesia : Hanuman Sakti.
Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci. Surabaya : Paramita.